TEORI HUMANISTIK
Teori jenis ketiga adalah teori humanistik. Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya ”isi” dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini sangat bersifat elektik. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk ”memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri, dan sebagainya itu) dapat tercapai.
Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut ”belajar bermkna” atau meaning full learning. (sebagai catatan, teori Ausubel ini di maksukkan ke dalam aliran kognitif). Teori ini juga termujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom yang terkenal itu. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey, dan Mumford, serta Habermas.
Bloom Dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup tiga kawasan yaitu :
1. Kognitif, yang terdiri dari enam tingkatan:
a. Pengetahuan (mengingat, menghapal);
b. Pemahaman (pengenterprestasikan);
c. Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah);
d. Analisis (menjabarkan suatu konsep);
e. Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
f. Evaluasi (membandingkan nilai-nilai ide, metode, dan sebagainya).
2. Psikomotor, yang terdiri dari lima tingkatan:
a. Peniruan (menirukan gerak);
b. Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak);
c. Ketepatan (melakukan gerak dengan benar);
d. Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar);
e. Naturlisasi (melakukan gerak secara wajar).
3. Afektif, yang terdiri dari lima tingkatan:
a. Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu);
b. Merespon (aktif berpartisipasi);
c. Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
d. Pengorganisasian (menghubungkan-hubungkan nilai-nilai yang dipercaya);
e. Pengalaman (menjadikan nila-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Taksonomi Bloom ini, seperti yang telah kita ketahui, berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yang paling populer (setidaknya di Indonesia).
Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut.
Kolberg
Sementara itu, seorang ahli lainnya bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi 4 tahap, yaitu:
1. Pengalaman konkrit
2. Pengamatan aktif dan relfektif
3. Konseptualisasi
4. Eksperimentasi aktif
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori” tentang sesuatu hal yang pernah diamatinys. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun nampak berbeda-beda tetap mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada tahap terakhir (eksperimentasi aktif) siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke siyuasi yang baru. Dalam dunia matematika, misalnya, siswa tidak hanya memahami ”asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mamp umemakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Menurut Kolb, siklus belajar semcam ni terjadi secara berkesinambungan, dan berlangsung di luar kesadaran si pelajar. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktek peralihan dari tahap satu dengan tahap lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.
Honey Dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau siswa, yakni aktivis, reflektor, teoris dan pragmatis.
Siswa tipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru.mereka cendrung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun siswa semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Ini kadangkala identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses beljar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-ha baru, seperti ”brainstorming”, atau ”problem solving”. Tetapi mereka cepat merasa bosan denggan hal-hal yang memerlukan waktu yang lama dalam implementasi.
Siswa tipe reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah.
Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung ”konservatif”, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik-buruk suatu keputusan. Siswa tipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Bagi mereka, berpikkir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting.mereka biasanya juga sangat skeptis, dan tidak menyukai hal-hal bersifat spekulatif.
Siswa tipe pragmatis menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting, kata mereka. Namun bila teori ini tidak bisa dipraktekan, untuk apa? Mereka suka bertele-tele membahas aspek teoritis-filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktekan.
Kritik Terhadap Teori Humanistik
Teori humanistik ini sering dikritik karena sifatnya yang terlalu deskritif (meskipun semua teori belajar sebenarnya bersifat deskritif;lain dengan teori pembelajaran, atau disebut juga teori intruksional,yang lebih bersifat preskriptif). Kelemahan lain adalah sukarnya menerjemahkan teori ini ke langkah-langkah yang lebih praktis konkrit.
Tapi, karena sifatnya yang desriptif itulah maka teori ini seolah memberi arah proses belajar. Semua tujuan pendidikan bersifat ideal, dan teori humanis inilah yang menjelaskan begaimana tujuan ideal itu seharusnya. Seperti teori-teori belajar yang lain, teori humanistik ini pun akan sangat membantu kita memahami proses belajar serta melakukan proses belajar itu dalam dimensi yang lebih luas,jika kita mampu menempatkannya pada konteks yang tepat. Kalau pun teori ini sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah praktis proses belajar, namun ide-ide, konsep-konsep, dan taksonomi-taksonomi yang dibahas dalam teori ini telah membantu membuka mata kita untuk lebih memahami hakikat jiwa manusia.
Dan ini pada gilirannya akan membantu kita menemukan strategi belajar yangg tepat secara lebih sadar dan terarah, dan tidak semata-mata tergantung pada intuisi kita.
Senin, 07 Desember 2009
TEORI HUMANISTIK
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
The Best Casinos in the UK for 2021 - DrMCD
BalasHapusWe've got the top casino 남원 출장샵 list, 성남 출장마사지 including top live dealer 파주 출장마사지 games and one of the top 대구광역 출장샵 no deposit bonuses around the world. Find out more here. 파주 출장샵