Senin, 07 Desember 2009

TEORI BELAJAR PERILAKU (BEHAVIORISME)

TEORI BELAJAR PERILAKU (BEHAVIORISME)

Secara umum teori belajar perilaku menyatakan bahwa belajar adalah sebagai bentuk perubahan perilaku yang diperoleh sebagai hasil dari interaksi antara stimulun dan respon. Peristiwa pembelajaran sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan, artinya kejadian-kejadian pada lingkungan itu sendiri yang memberikan pengalaman tertentu terhadap belajar. Secara ringkas dikatakan bahwa peristiwa belajar yang terjadi berdasarkan paradigma “hubungan antara sitmulus dan respon (S-R). Perilaku itu dapat diamati sesuai dengan keterkaitan antara stimulus dan respon, lebih bersifat atau mengikuti prinsip-prinsip mekanistik. Agen-agen lingkungan yang menyebabkan minimal mendorong organisma untuk melakukan respon. Bila diamati proses S-R tersebut, maka ada unsur dorongan atau drive di dalam diri individu.


Mahasiswa mengalami dan merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan. Unsur kedua yaitu stimulus, kepada mahasiswa diberikan rangsangan (bisa jadi datangnya dari eksternal atau bisa berupa faktor internal) yang menyebabkan mereka memberikan respon. Unsur ketiga dalah respon, mahasiswa memberikan reaksi terhadap setiap stimulus yang diterimanya dengan cara melakukan sesuatu )berupa kegiatan atau tindakan). Keempat adanya unsur penguatan atau reinforcement (berupa hadiah), yang perlu diberikan kepada mahasiswa agar merasakan bahwa memberikan respon terhadap sesuatu memperoleh suatu minimal “kepuasan” secara batiniah, dan masa yang akan datang mahasiswa akan terbiasa melakukan kegiatan tersebut. Para penganut teori belajar perilaku menyatalkan bahwan sudah cukup bagi mahasiswa untuk mempertautkan berbagai stimulus dan respon, penganut teori ini tidak mempersoalkan apakah yang terjadi dalam fikiran mahasiswa sebelum atau sesudah memberikan respon.

1. Teori Belajar Classical Conditioning (Ivan . P. Pavlov)
Kondisioning yang dikemukakan oleh Pavlov merupakan suatu jenis bentuk belajar bahwa kesanggupan individu untuk merespon terhadap rangsangan tertentu dapat dipindahkan pada rangsang yang lain.
Dalam diri setiap individu terdapat atau ada sistem reaksi (respon) yang tidak dapat dilakukan manipulasi oleh sistem urat syaraf untuk menerima suatu rangsangan (stimulus) sekaligus juga rekasi emosional yang dapat dikontrol (respon), seperti terjadinya sekresi (pembanjiran air liur ketika kita melihat orang lain makan makanan berupa asam-asam “melihat orang rujak misalnya”, sekaligus ada juga orang yang dapat mengontrolnya, sehingga tidak terlihat reaksi apapun). Suatu percobaan klasik dilakukan oleh Pavlov terhadap seeekor anjing. Pavlov mengajarkan kepada anjingnya tersebut untuk mengeluarkan air liur ketika mendengarkan bunyi bel. Pavlov menguraikan percobaannya tersebut sebagai berikut: ketika anjing melihat makanan “tepung daging” (suatu stimulus atau rangsangan) disebut dengan unconditioning stimulus (US). Hal yang terjadi pada anjing adalah keluarnya air liur anjing tersebut, peristiwa ini oleh Pavlov disebut dengan conditioning respons (UR). Setelah dilakukan kondisioning (membuat suatu kondisi lain yang berbeda dari rangsangan tersebut), Pavlov membunyikan bel (metronom) yang menyebabkan keluarnya air liur disebut dengan conditioning stimulus (CS) yang menimbulkan conditioning respons (CR). Sebenarnya sebelum membunyikan metronom tidak menimbulkan respon yang dikehendaki (disebut stimulus netral). Untuk jels dapat dilaht pada gambar berikut :


US UR

CS
US UR

CS
CR
Gambar 1. Kondisioning klasik

Gambaran secara umum dapat dijelaskan bahwa bila mahasiswa memperoleh stimulus yang tidak dikondisikan (US) akan menimbulkan juga respon yang tidak terkondisi (UR), ini yang sehari-hari kita kenal dengan gerakan refleks (reaksi yang terjadi tanpa melalui proses belajar). Adakalanya stimulus yang tidak dikondisikan (US) dan kemudian diberikan bersamaan dengan stimulus yang dikondisikan (CS) dapat menimbulkan reaksi yang tidak dikondisikan (UR), tetapi keadaan seperti itu sering kita ulangi bisa jadi akan menimbulkan reaksi yang dikondisikan (CR) dan ini yang diharapkan, sehingga dapat dikatakan mahasiswa sudah belajar.
Bila kita amati lebih mendalam lagi, maka gambar 1 tersebut dapat dilukiskan secara mendetail seperti berikut ini:

US UR
CS + US UR + CR
CS + US CR
CS CR

Ada beberapa peristiwa yang timbul dari gambar tersebut di atas, yaitu makin sering mahasiswa memperoleh stimulus yang dikondisikan (CS) makin mantaplah terjadinya reaksi yang dikondisikan (CR) dan ini yang diharapkan. Tetapi lama kelamaan CS yang sering diberikan itu dapat pula mengurangi kadar CR yang diharapkan dan pada akhirnya hilang sama sekali (peristiwa ini disebut extinction), bila ini terjadi dan kemudian diberikan lagi US maka reaksi CR yang hilang tadi akan dengan cepat dapat muncul kembali (dikenal dengan spontaneus recovery). Peristiwa lain yang terjadi dikenal dengan generalisasi yaitu pemberian reaksi terkondisi (CR) terhadap CS yang serupa atau memiliki kemiripan, walaupun CS itu belum pernah diberikan. Semakin banyak kesamaannya dengan CS semakin besar pula terjadinya generalisasi. Terjadi juga sebaliknya, yaitu proses belajar untuk memberikan reaksi (CR) atau tidak memberikan rekasi (UR) terhadap CS yang lain, peristiwanya disebut dengan diskriminasi stimulus. Peristiwa lain yang dikenal dengan aviodance conditioning, yaitu kondisi penghindaran untuk timbulnya reaksi yang tidak terkondisi (UR), contohnya bila bunyi bel (CS) diikuti dengan pemberian kejutan listrik pada kaki anjing, tetapi bila kakinya diangkat kejutan listrik akan menghilang. Escape learnig yaitu suatu reaksi yang merupakan pelarian dari bahaya (biasanya US nya bersifat “bahaya”).

2. Teori Belajar Operant Conditioning (B. F. Skinner)

Hubungan antara stimulus dan respon menurut Skinner bukan terjadi begitu saja, tetapi memiliki hubungan antara satu dengan lainnya, kesaling hubungan tersebut akan mempengaruhi respon yang diberikan. Sehubungan dengan respon, Skinner menjelaskan bahwa respon yang diberikan bisa benar artinya sesuai dengan stimulus yang dimunculkan, adakalanya tidak benar artinya tidak sesuai dengan stimulus yang ditimbulkan, seperti : dalam kehidupan sehari-hari sering kita tanyakan kepada orang lain “Anda hendak kemana?” berupa stimulus pertanyaan, tetapi muncul jawaban “saya mau ke kampus” sebagai respon. Terlihat ketidak adaan hubungan antara stimulus dan respon. Tentu saja jawaban yang benar adalah “Saya dari tempat kos (Kampung Baru)” misalnya. Yang menjadi fokus dari teori Skinner adalah respon yang benar harus diberikan penguatan (reinforcement), dengan tujuan agar orang melakukan kegiatan (respon) itu kembali. jadi respon yang diberikan menghasilkan berbagai konsekwensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku mahasiswa. Akibatnya, adalah untuk memahami tingkah laku mahasiswa secara tuntas, kita harus memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekwensi yang diakibatkan oleh respon tersebut. Menurut Skinner menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku yang ditimbulkan mahasiswa hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi rumit, sebab “alat” itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan bahwa “seorang mahasiswa berpretasi buruk sebab mahasiswa ini memiliki motivasi yang rendah”. Jelas ini menurut Skinner untuk menuntut kita menjelaskan “apa itu motivasi”, bagaimana terjadinya?, faktor apa yang mempengaruhinya, dan pertanyaan atau penjelasan-penjelasan lain yang berkaitan dengan motivasi tersebut harus kita uraikan, begitulah seterusnya.

Penjelasan Hill (Toeti Sukamto dan Udin S, 1997) berkenaan dengan teori Skinner khususnya tentang penguatan dapat diberikan dalam bentuk (1) kontinu, yaitu terus menerus memberikan penguatan terutama pada saat permulaan proses pembelajaran berlangsung. Jadi setiap kali mahaiswa menjawab soal dengan benar langsung diberikan penguatan (verbal atau nonverbal), sedangkan (2) selang-seling, artinya beberapa saat perlu dikurangi pemberian penguatan, dengan tujuan agar mahasiswa tetap tekun dalam belajar.

Ada beberapa hal yang menarik untuk dijadikan sebagai resume (setelah dilakukan berbagai percobaan) dengan pemberian penguatan, yaitu : 1) kita perlu membuat pengalan-penggalan materi pada setaip proses pembelajaran (dapat berupa modul), 2) penguatan harus diberikan sesegera mungkin dan kalau perlu sesaat respon itu muncul, 3) pemberian penguatan harus dipertimbangkan dan pengontrolan secara hati-hati, dan 4) perlu bagi mahasiswa untuk melakukan diskriminasi dan generalisasi, karena akan mempengaruhi keberhasilan mereka. Dituntut sekali keaktifan dan partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti pengajaran terprogram, paket-paket belajar mandiri (modul-modul), “Teaching Machine”, “Mathematics”, prinsip belajar tuntas (mastery learning) atau program-program lain memakai konsep stimulus program yang memanfaatkan teori Skinner ini.

Hanya saja pertanyaan-pertanyaan seperti : binatang sebagai subyek penelitian apakah dapat juga berlaku untuk manusia?, penelitian laboratorium akan memberikan hasil yang sama dengan penelitian di kelas (realitas)?, bagaimana hubungannya dengan faktor sosial? Manusia adalah makhluk sosial. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sekaligus juga merupakan kritikan terhadap teori perilaku pada umumnya yang sampai saat sekarang menjadi bahan perdebatan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar