Jumat, 11 Desember 2009

7 Jurus Menghilangkan Kecemasan

Resensi Buku Baru | 7 Jurus Menghilangkan Kecemasan dan Memulai Hidup Baru

Judul Buku : 7 Jurus Menghilangkan Kecemasan dan Memulai Hidup Baru
Penulis : Dale Carnegie
Penerbit : Kinza Books
Terbit : Juni 2009
Tebal : 100 Halaman
Harga : Rp19.500

Tujuh Jurusan Sederhana Agar Hidup Tak Merana

BISA dipastikan semua manusia memiliki masalah, bahkan tak jarang menghadirkan kecemasan dan tekanan yang berat. Kehidupan manusia memang tak ada yang berjalan lurus-lurus saja, selama masih berinteraksi dengan kehidupan sosial pasti akan muncul permasalahan.

Semakin lama dan intensnya sebuah interaksi, maka permasalah yang hadir pun semakin kompleks. Jadi masalah tak pernah bisa dihindari, namun masalah harus diatasi. Menghindari masalah sama saja menghadapi masalah yang lebih besar, sebaliknya jika mampu mengatasi masalah membuat manusia semakin besar.

Jadi kalau masalah dalam kehidupan

tak bisa dihindari, kenapa meski khawatir dan membuat tertekan. Hadapi saja dan temukan solusi sebaik mungkin, karena itu akan membuat Anda lebih tenang menjalani kehidupan dan meraih kebahagiaan. Yang perlu dipersiapkan hanyalah kemauan menghadapi masalah dan mencari solusinya.

Ternyata solusi yang dibutuhkan pun tak begitu rumit, banyak cara sederhana untuk mengatasi masalah dalam kehidupan. Salah satu yang patut dicoba adalah tips dari Dale Carnegie dalam buku berjudul 7 Jurus Menghilangkan Kecemasan dan Memulai Hidup Baru yang diterbitkan Kinza Books. Buku yang berjudul asli How To enjoy Your Life dan dalam versi Arab berjudul Fununul Hayat Bidunil Khazn, berisi tujuh jurus menghadapi pelbagai masalah dalam kehidupan.

Buku setebal 100 halaman ini, betul-betul sederhana. Bukan hanya bahasanya yang mudah dipahami, tips yang disampaikan pun tak rumit sehingga cukup aplikatif. Namun, solusi yang ditawarkan bisa membangkitkan kembali motivasi hidup karena disarikan dari berbagai pengalaman sejumlah tokoh besar.

Di antaranya adalah menjadi diri sendiri, mensyukuri nikmat yang diperoleh, bersemangat dan kreatif dalam berkarya, tidak mudah kecewa dengan kritik, dan membuang jauh sikap mudah sakit hati. Buku ini terasa begitu ringan, namun isinya mengajak kita untuk lebih rileks menjalani hidup dan tenang menghadapi masalah.

Tak perlu ada yang dikhawatirkan bila kita mampu mengembangkan jurus-jurus di atas. Karena bayang-bayang kecemasan akan menghadapi masalah dalam kehidupan, menunjukkan seseorang tak mempunyai sikap mental dan solusi yang baik. Jadi terus perkaya pengalaman dan kemampuan Anda untuk menghadapi masalah.

Bila kita terlatih mampu mengatasi masalah, maka tak perlu ada lagi kecemasan mengarungi kehidupan. Ketenangan dalam menjalani hidup, berpotensi melejitkan prestasi dan mencapai kebahagiaan dalam hidup. Semoga buku ini bermanfaat bagi Anda. (wasis wibowo)





Selengkapnya...

Faktor penyebab timbulnya kecemasan

Faktor penyebab timbulnya kecemasan

menurut Collins dalam Susabda (1983,112) bahwa kecemasan timbul karena adanya:
Threat (Ancaman) baik ancaman terhadap tubuh, jiwa atau psikisnya (seperti kehilangan kemerdekaan, kehilangan arti kehidupan) maupun ancaman terhadap eksistensinya (seperti kehilangan hak). Conflik (Pertentangan) yaitu karena adanya dua keinginan yang keadaannya bertolak belakang, hampir setiap dua konflik, dua alternatif atau lebih yang masing-masing yang mempunyai ifat approach dan avoidance. Fear (Ketakutan) kecemasan sering timbul karena ketakutan akan sesuatu, ketakutan akan kegagalan menimbulkan kecemasan, misalnya ketakutan akan kegagalan dalam mengahadapi ujian atau ketakutan akan penolakan menimbulkan kecemasn setiap kali harus berhadapan dengan orang baru. Unfulled Need (Kebutuhan yang tidak terpenuhi) kebutuhan manusia begitu kompleks dan bila ia gagal untuk memenuhinya maka timbullah kecemasan.



Faktor-faktor penyebab kecemasan dapat digolongkan menjadi:

1. Faktor Kognitif. McMahon (1986,559) menyatakan bahwa kecemasan dapat timbul sebagai akibat dari antisipasi harapan akan situasi yang menakutkan dan pernah menimbulkan situasi yang menimbulkan rasa sakit, maka apabila ia dihadapkan pada peristiwa yang sama ia akan merasakan kecemasan sebagai reaksi atas adanya bahaya.

2. Faktor Lingkungan. Menurut Slavson (1987), salah satu penyebab munculnya kecemasan adalah dari hubungan-hubungan dan ditentukan langsung oleh kondisi-kondisi, adat-istiadat, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang amat cepat, dimana tanpa persiapan yang cukup, seseorang tiba-tiba saja sudah dilanda perubahan dan terbenam dalam situasi-situasi baru yang terus menerus berubah. Dimana perubahan ini merupakan peristiwa yang mengenai seluruh lingkungan kehidupan, maka seseorang akan sulit membebaskan dirinya dari pengalaman yang mencemaskan ini.

3. Faktor Proses Belajar. Menurut Mowrer (dalam Goldstein&Krasner, 1988:282) kecemasan timbul sebagai akibat dari proses belajar. Manusia mempelajari respon terhadap stimulus yang memperingatkan adanya peristiwa berbahaya dan menyakitkan yang akan segera terjadi.


Greenberger & Padesky (2004,212) menyatakan bahwa kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang terjadi pada seseorang. diantaranya adalah :

1. Aspek kognitif, yang meliputi :

a. Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada dalam bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga gejala fisik kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau ancaman yang menurutnya akan terjadi.

b. Ancaman tersebut bersifat fisik, mental atau sosial, diantaranya adalah: (1). Ancaman fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan terluka secara fisik. (2). Ancaman mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia akan menjadi gila atau hilang igatan.(3). Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan.

c. Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang.

d. Sebagian orang, karena pengalaman mereka bisa terancam dengan begitu mudahnya dan akan lebih sering cemas. Orang lain mungkin akan memiliki rasa aman dan keselamatan yang lebih besar. Tumbuh dilingkungan yang kacau dan tidak sabil bisa membuat seseorang menyimpulkan bahwa dunia dan orang lain selalu berbahaya.

e. Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering kali memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering dimulai dengan “Bagaimana kalau…” dan berakhir dengan hal yang kacau. Pemikiran tentang kecemasan juga sering meliputi citra tentang bahaya. Pemikiran-pemikiran ini semua adalah masa depan dan semuanya memprediksi hasil yan buruk.

2. Aspek kepanikan
Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa panik ditandai dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam diri seseorang yang menderita gangguan panic, terjadi lingkaran setan saat gejala-gejala fisik, emosi, dan pemikiran saling berinteraksi dan meningkat dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta merangsang keluarnya adrenalin. Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik serta emosional yang lebih intens yang terjadi bias menimbulkan dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya.



Selengkapnya...

Faktor Predisposisi Kecemasan

Faktor Predisposisi Kecemasan

Setiap perubahan dalam kehidupan atau peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan keadaan stres disebut stresor. Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan, atau kecemasan merupakan manifestasi langsung dari stres kehidupan dan sangat erat kaitannya dengan pola hidup (Wibisono, 1990).
Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan (Roan, 1989) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang sangat berpengaruh adalah


faktor psikologis, terutama ketidak pastian tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani.

Gejala Kecemasan
Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu :

a. Fase 1
Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin. Oleh karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 1985). Pada fase ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi yang ada secara benar (Asdie, 1988).

b. Fase 2 (dua)
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada motifasi diri (Wilkie, 1985). Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak keras dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 1988). Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu (Asdie, 1988).

c. Fase 3
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres. Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti : intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 1988).

Klasifikasi Tingkat Kecemasan Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik (Townsend, 1996).

Kecemasan ringan; Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.

Kecemasan sedang; Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis.

Kecemasan berat; Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.

Panik; Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.

Selengkapnya...

Teori Kecemasan

Teori Kecemasan

Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).

Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).

Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal (Kusuma W, 1997). Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Kaplan, Sadock, 1997).


Teori Kecemasan
Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al, 1993). Stress dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik. Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

a. Teori Psikodinamik
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).

b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.

c. Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga.
d Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga.

e. Teori Biologik
Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian terhadap proses fisiologis (Hall, 1980). Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan, tidak oleh konflik emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder (Rockwell cit stuart & sundeens, 1998).



Selengkapnya...

Metode Penanganan Kecemasan

Metode Penanganan Kecemasan

Pengaruh terbesar kecemasan terhadap performance ada pada gerak motorik seorang atlet. Dengan tingkat kecemasan yang melebihi ambang batas, respon-respon tubuh yang muncul relative merugikan untuk sebuah penampilan. Tubuh yang gemetar membuat gerakan-gerakan menjadi terbatas, belum lagi dengan kekakuan otot yang mengiringi atlet yang cemas. Hasilnya, penampilan tidak akan maksimal. Kesalahan-kesalahan passing, atau gerakan yang tidak terkontrol akan muncul tanpa sadar.

Untuk itu, atlet perlu disiapkan untuk menangani kecemasannya dengan baik. Pelatih merupakan ujung tombak agar atletnya

tidak mudah stress dan cemas. Program latihan harus diatur sedemikian rupa sehingga membiasakan para pemain berada dalam tekanan. Tentu saja bukan tekanan dari pelatih, tapi oleh situasi-situasi pertandingan tersebut.

Dalam teori kepelatihan sepakbola modern, pola-pola latihan yang melibatkan tekanan mulai diperkenalkan. Van Lingen (1989) menyatakan bahwa unsur tekanan akan membiasakan para pemain berada dalam situasi pertandingan sesungguhnya. Contoh mudah adalah dengan menghadirkan “lawan” dalam setiap sesi latihan. Latihan passing tidak dianjurkan lagi hanya dengan dua orang yang berhadap-hadapan tanpa kehadiran musuh disana. Begitu pula latihan shooting, driblling dan sebagainya.

Pola latihan yang tepat akan membuat para pemain terbiasa dengan tekanan. Hasilnya akan terlihat pada kompetisi. Pemain tidak lagi canggung untuk menghadapi musuh, karena memang sudah relative terbiasa.

Selain itu, kompetisi berjasa untuk mengasah keterampilan emosional pemain. Dengan digelarnya kompetisi rutin, maka para pemain akan lebih sering bertemu dengan “lawan” sebenarnya. Jika sejak dini seorang atlet sudah sering dihadapkan untuk mengatasi tekanan lawan, maka kemampuan untuk mengalahkan imajinasi tentang lawannya akan semakin mudah. Menurut FIFA, seorang pemain usia dini seharusnya menghadapi minimal 30 pertandingan resmi dalam setahun. Salah satu tujuannya tentu saja untuk membiasakan para pemain.

Selain cara-cara yang berkaitan dengan proses latihan, perlu juga diberikan penanganan-penanganan yang bersifat pribadi. Ini adalah tugas dari seorang konsultan psikologi atau psikologi olahraga untuk membuat sebuah bentuk penanganan untuk mengurangi tingkat kecemasan atlet dan untuk menyiapkan mental atlet dalam menghadapi pertandingan penting. Salah satunya adalah dengan imagery training.

Para atlet diajak untuk berlatih “membayangkan” situasi-situasi yang akan dihadapi di lapangan. Tujuannya adalah memberi gambaran awal tentang situasi dan kondisi yang akan dihadapi. Banyak penelitian telah membuktikan efektifitas imagery traingin ini dalam mengurangi kecemasan pemain (Yukelson, 2007)s.

Secara individual, para atlet juga harus membekali dirinya dengan keterampilan mental untuk mengurangi kecemasan yang timbul. Keterampilan-keterampilan tersebut berkaitan dengan keyakinan-keyakinan pribadi. Salah satu contohnya adalah dengan self talk. Dengan self talk, para atlet diajak untuk mengurai kemampuannya sendiri dengan lebih objektif beserta solusi-solusi atas kekurangan-kekurangannya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para atlet dalam rangka mengurangi kecemasan yang ditimbulkan oleh tekanan pertandingan, yakni:

• Membuat perpektif yang benar; bertanding dalam sebuah cabang olahraga bukanlah masalah hidup atau mati. Dengan demikian, beban akan lebih ringan. Bukan berarti hal ini menganggap remeh sebuah pertandingan, namun sekedar meletakkan permasalahan dengan lebih objektif.

• Jangan takut untuk membuat kesalahan. Perasaan takut membuat kesalahan memberi kontribusi yang cukup besar munculnya kecemasan. Dengan menganggap bahwa tidak semua orang bisa sukses setiap waktu bisa meringankan beban. Bahkan seorang Zinedine Zidane pun melakukan kesalahan yang fatal.

• Mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Dengan berlatih keras dan dengan metode yang benar, maka semua halangan bisa dengan mudah dikalahkan.

• Berkonsentrasi tinggi. Selama pertandingan berlangsung, hilangkan persoalan-persoalan yang tidak berkaitan. Dengan berkonsentrasi pada apa yang sedang dihadapi, maka seorang pemain atau atlet akan lebih bisa berfikir rasional. Pikirkan juga apa yang sedang dilakukan, bukan semata pada hasil akhir.

Dengan pendekatan yang benar, maka kecemasan tidak akan menghalangi penampilan seorang atlet. Sebaliknya, dengan kecemasan yang relatif tinggi, sebenarnya atlet tersebut sedang bersemangat. Tinggal peran atlet, pelatih dan psikologi yang ditunggu untuk menciptakan pemain-pemain yang tidak mudah stress dan bisa dengan maksimal menggunakan skillnya untuk menciptakan prestasi.




Selengkapnya...

Cara Menghadapi Kecemasan

Cara Menghadapi Kecemasan dengan Lebih Berani!

Sebelum menghadapi sebuah pertandingan, ada yang umum terjadi dalam diri atlet. Kondisi psikologis atlet biasanya menjadi lebih tinggi. Hal ini terpicu oleh situasi dan keadaan yang akan di hadapi. Ditambah dengan embel-embel sebuah pertandingan penting yang menentukan. Dari kondisi tersebut muncul reaksi-reaksi fisiologis dalam tubuh seorang atlet. Keringat mengucur deras, tangan dan kaki basah oleh keringat, nafas terengah-engah, gemetar, kepala pusing, mual hingga muntah-muntah. Itu semua adalah respon fisik atas kondisi mental yang meningkat. Secara umum, atlet tersebut merasa cemas.

Kecemasan adalah

peristiwa yang umum dihadapi oleh siapa saja saat akan menghadapi sesuatu yang penting. Termasuk juga para atlet. Munculnya rasa cemas, biasanya di dahului oleh gambaran mental atas peristiwa-peristiwa yang akan dihadapi. Dengan kata lain, ada proses pembayangan yang dilakukan oleh seorang atlet yang mendahului munculnya rasa cemas. Dari gambaran tersebut kemudian menyatu dengan persepsi-persepsi, gambaran-gambaran, harapan-harapan atas diri sendiri.

Secara sederhana kecemasan atau dalam bahasa psikologi biasa disebut dengan anxiety di definisikan sebagai aktivasi dan peningkatan kondisi emosi (Bird, 1986). Peningkatan dan aktivasi ini didahului oleh sebuah kekhawatiran dan kegelisahan atas apa yang akan terjadi. Dalam konteks pertandingan, tentu saja berkaitan dengan lawan dan harapan-harapan baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain.

Cemas vs Arousal
Ada dua jenis peningkatan dan aktivasi kondisi psikologis ini. Selain anxiety, ada juga yang disebut dengan arousal. Keduanya merupakan hasil dari peningkatan kondisi mental seseorang. Bedanya berada pada tingkatan aktivasi dan jenis emosi yang muncul. Arousal bersifat lebih positif, artinya arousal memberi energi pada seseorang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Arousal memberi tambahan tenaga yang mendasari sebuah perilaku. Keinginan untuk menang, menjatuhkan lawan dengan segera (dalam olahraga beladiri dan tinju), tampil lebih trengginas dan sebagainya adalah hasil yang muncul dari arousal ini.

Sedangkan cemas adalah kombinasi antara intensitas perilaku dan arah dari emosi yang lebih bersifat negatif (Bird, 1986). Perilaku yang sering muncul seiring dengan munculnya rasa cemas ini adalah ketakutan akan kalah, kekhawatiran atas performa diri dan prestasi lawan dan sebagainya. Dalam bahasa lain, para ahli sering mengganti istilah anxiety menjadi stress. Secara umum, kedua istilah ini digunakan secara bergantian dengan merujuk pada definisi yang sama. Kecemasan adalah hasil keraguan atas kemampuan untuk menangani situasi yang menyebabkan stress (Hardy, 1996 dalam Humara).

Pahlevi (1991), mendefinisikan kecemasan sebagai suatu kecenderungan untuk mempersepsikan situasi sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980), mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami olah seseorang, dimana ia merasa tegang tanpa sebab. Hal yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan-perubahan pada tubuhnya baik secara somatis maupun psikologis.

Teori awal yang menjelaskan tentang anxiety ini adalah Hipotesis U-terbaik. Dalam teori ini anxiety dikatakan memberi pengaruh yang besar terhadap penampilan. Semakin tinggi tingkat kecemasan, maka penampilan akan semakin optimal. Namun, jika berubah menjadi terlalu tinggi, maka penampilan akan semakin turun (seperti huruf U yang dibalik).

Anxiety sendiri dibagi menjadi beberapa jenis. Yang pertama adalah state anxiety atau biasa disebut sebagai A-state. A-state ini adalah kondisi cemas berdasarkan situasi dan peristiwa yang dihadapi. Artinya situasi dan kondisi lingkunganlah yang menyebabkan tinggi rendahnya kecemasan yang dihadapi. Sebagai contoh, seorang atlet akan merasa sangat tegang dalam sebuah perebutan gelar juara dunia. Sebaliknya, tidak begitu tegang saat menjalani pertandingan dalam kejuaraan nasional.
Yang kedua adalah trait anxiety atau biasa disebut dengan A-trait. Trait anxiety adalah level kecemasan yang secara alamiah dibawa oleh seseorang. Dalam A-trait ini tingkat kecemasan akan berbeda-beda dalam setiap individu berdasarkan kondisi kepribadian dasar yang dimilikinya. Sebagai contoh, pemain A akan merasa lebih rileks dalam menghadapi pertandingan di Pekan Olahraga Nasional, tapi untuk atlet lain dia justru merasa sangat tertekan dan sangat cemas meskipun bertanding dalam even yang sama. Hal ini disebabkan oleh persepsi dasar seorang individu dalam memandang sumber kecemasan.

Dan yang ketiga adalah Competitive anxiety. Competitive anxiety ini adalah kecemasan yang berhubungan dengan situasi kompetisi atau sebuah pertandingan. Competitive anxiety ini sendiri dibagi menjadi competitive trait anxiety dan competitive state anxiety.

Anxiety dan Penampilan
Secara sederhana, anxiety memberi pengaruh yang cukup besar terhadap penampilan seorang atlet. Menurut teori hipotesis U-terbalik maka penampilan seorang atlet akan semakin bagus saat tingkat kecemasan mulai meningkat. Namun, saat tingkat kecemasan mulai naik dan terus naik, kecenderungan penampilan akan menurun.

Namun, tingkat kecemasan dan stress antara satu orang dengan orang lain berbeda. Ada beberapa hal yang membedakan tingkat kecemasan atlet. Yang pertama adalah pengalaman. Atlet yang lebih berpengalaman terbukti memiliki level kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan atlet yang baru saja masih amatir. Yang kedua adalah situasi dan kondisi kompetisi. Kompetisi yang bersifat lebih tinggi tingkatnya cenderung menyebabkan meningkatnya tingkat kecemasan bagi seseorang. Sebagai contoh level kejuaraan dunia ternyata lebih stressful dibanding dengan kejurnas. Selain level kompetisi, fase kompetisi itu sendiri juga memberi pengaruh yang cukup besar. Dalam kompetisi sepakbola yang berformat liga, situasi yang cenderung membuat cemas adalah saat-saat kompetisi mendekati akhir dengan nilai yang tidak terpaut jauh sehingga masih ada kemungkinan mengejar atau dikejar.

Level kecemasan juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan diri seorang pemain. Pemain yang secara alamiah mempunyai tingkat kepercayaan diri tinggi memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan atlet yang rasa percaya dirinya rendah.

Jenis olahraga juga memberi sumbangan terhadap tingkat kecemasan. Olahraga yang bersifat individual menciptakan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan cabang olahraga tim (Humara, 1999). Hal ini wajar karena perasaan mempunyai teman akan membuat lebih tenang dan focus tidak terpusat pada dirinya.

Hal terakhir yang mempengaruhi tingkat kecemasan adalah jenis kelamin. Menurut beberapa penelitian, atlet perempuan lebih cenderung mempunyai tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan atlet laki-laki (Thuot, Kavouras, & Kenefick., 1998 dalam humara).


Selengkapnya...

Tugas-tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupan

Tugas-tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupan

Menurut Havighurst pada masa anak akhir (Hurlock, 1991 dan Rifai, 1997) dikemukakan dalam uraian berikut.
1. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-pemainan yang umum.Hakikat dari tugas perkembangan ini adalah mempelajari keterampilan-
keterampilan yang bersifat fisik/jasmani untuk dapat melakukan permainan.
Keterampilan yang dimaksudkan antara lain keterampilan dalam melempar,
menendang, melompat, meloncat, berenang, dan menggunakan alat-alat
permainan tertentu. Secara fisik, anak pada usia ini mengalami kematangan
tulang, otot, dan urat syaraf yang memungkinkan anak siap untuk melakukan
koordinasi gerak fisik. Selain itu, secara psikis khususnya


aspek sosial, anak
mulai mempunyai teman kelompok sebaya (peer group) yang dapat menghargai
apabila anak sebagai anggota kelompok memiliki keterampilan permainan sesuai
dengan tuntutan kelompoknya. Sekolah dasar seharusnya dapat memfasilitasi
anak laki-laki maupun perempuan usia SD/MI untuk membentuk kelompok
permainan bersama.

2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk yang sedang tumbuh. Hakikat tugas perkembangan ini adalah belajar mengembangkan sikap kebiasaan untuk hidup sehat, dengan cara memelihara badan agar tetap sehat,
menjaga kebersihan, keselamatan diri, menghindari penyakit, konsisten memelihara kesehatan, dan mempunyai sikap yang realistis terhadap seks. Pada saat ini, otot anak telah berkembang pesat dan tumbuh gigi tetap. Secara psikologis, anak dihargai atau tidak dihargai oleh teman sebaya dan orang dewasa berdasarkan keterampilan fisik dan penampilan diri. Sekolah dasar dapat membantu anak menyelesaikan tugas perkembangan ini dengan cara menjelaskan dan membiasakan anak untuk hidup sehat dan berpenampilan sesuai dengan tuntutan sosial budaya di lingkungan kehidupan anak, serta memberikan pendidikan seks khususnya menjelang akhir periode perkembangan ini.

3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya. Hakikat tugas
perkembangan ini adalah anak belajar memberi dan menerima dalam kehidupan
sosial antara teman sebaya, dan belajar membina persahabatan dengan teman
sebaya, termasuk juga bergaul dengan musuhnya. Dengan demikian, anak belajar
sosialisasi dalam rangka pembentukan kepribadiannya. Pada saat ini, keadaan
fisik yang sehat dan bersih, serta penguasaan keterampilan fisik sangat penting
bagi terciptanya hubungan baik di antara teman sebaya.

Secara psikologis, anak mulai ke luar dari lingkungan keluarga dan memasuki dunia pergaulan dengan teman sebaya. Melalui pergaulan dengan teman sebaya, banyak hal yang dapat dipelajari anak seperti saling belajar menyesuaikan diri, terbentuknya sikap dan sifat jujur, sopan, sportif, dan toleran, yang akan mewarnai pembentukan
kepribadian anak selanjutnya. Sekolah dapat membantu anak menyelesaikan tugas perkembangan ini dengan menggunakan sosiometri untuk mengetahui status dan hubungan sosial anak dengan teman-temannya sehingga dapat memberikan bimbingan maupun kegiatan yang dapat memfasilitasi anak agar mau dan dapat bergaul dengan teman sebaya dan orang-orang di sekitarnya.


4. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita dengan tepat. Hakikat tugas
perkembangan ini adalah anak belajar dan bertindak sesuai dengan peran seksnya
yaitu sebagi anak laki-laki atau anak perempuan. Secara fisik biologis, ada
perbedaan anatomi antara anak laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan
masyarakat menuntut agar mereka berperan sesuai dengan jenis kelaminya. Anak
perempuan diharapkan mengidentifikasikan diri pada ibunya, sedangkan anak
laki-laki mengidentifikasikan diri pada ayahnya. Perbedaan peran sosial pria dan
wanita juga dipengaruhi kelas sosial anak. Anak dari kelas sosial menengah ke
atas dituntut peran sosial yang berbeda dibandingkan dengan anak dari kelas
sosial menengah ke bawah. Sekolah dasar dapat membantu anak dengan memberi
informasi dan memperlakukan anak sesuai dengan peran sosial sebagai anak laki-
laki atau perempuan yang berlaku di masyarakat di lingkungan anak menjalani
kehidupannya.

5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar mengembangkan
tiga keterampilan dasar yaitu membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan
untuk hidup di masyarakat. Pada saat ini, secara fisik khususnya urat syaraf
keterampilan motorik halus telah memungkinkan anak untuk belajar menulis dan
berhitung permulaan. Kemampuan membaca pemahaman berkembang sejalan
dengan perkem-bangan kemampuan kognitif anak. Setiap masyarakat mempunyai perbedaan harapan mengenai kemampuan dasar dan tingkatpendidikan bagi anaknya. Masyarakat tingkat sosial ekonomi rendah biasanya kurang memberikan dukungan agar anak-anaknya mencapai pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan harapan masyarakat tingkat sosial ekonomi menengah dan atas. Sekolah dasar sangat berperan dalam mengembangkan keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung, juga dalam memotivasi anak untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi.

6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak harus mempelajari berbagai
konsep agar dapat berpikir efektif mengenai permasalahan sosial di sekitar
kehidupan anak sehari-hari. Pada saat ini, otak anak sudah berkembang dan
matang untuk mempelajari konsep-konsep berdasarkan tahapan perkembangan
kognitif anak, serta dapat mengaplikasikan konsep tersebut dalam menghadapi
masalah kehidupan sehari-hari. Sekolah dasar melalui pendidikan dan pembelajaran hendaknya dapat menjelaskan konsep-konsep yang diperlukan secara jelas dan benar, sehingga dapat memudahkan anak untuk berkembang dalam kehidupannya.

7. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, serta tata dan tingkatan nilai.
Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan moral yang bersifat
batiniah yaitu hati nurani, serta mengembangkan pemahaman dan sikap moral
terhadap peraturan dan tata nilai yang berlaku dalam kehidupan anak. Anak
belajar dan mengembangkan hati nurani dan nilai serta sikap moral (baik – buruk) melalui teladan dari orang tua di keluarga dan guru di sekolah, juga melalui pujian maupun larangan/hukuman terhadap perilaku moral yang dilakukan ataupun diperlihatkan anak, serta melalui pengalaman moral anak dengan teman-temannya.

8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-
lembaga. Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan sikap sosial
yang demokratis dan menghargai hak orang lain. Setiap masyarakat mempuyai
sikap sosial sendiri-sendiri. Misalnya, masyarakat Indonesia menyukai sikap
tenggang rasa, dan kerja sama dalam alam demokrasi pancasila. Di sekolah dasar,
anak belajar sikap sosial terhadap berbagai hal, seperti sikap terhadap kelompok
agama, ras dan suku bangsa, serta kelompok sosial politik ekonomi yang
berlainan. Sikap terhadap kelompok sosial dapat dipelajari melalui cara meniru
orang atau kelompok sosial yang dipandang mempunyai prestasi lebih dan dapat
dibanggakan. Juga mencontoh melalui pengalaman menyenangkan ataupun tidak
menyenangkan terhadap kelompok sosial tertentu. Jadi sikap terhadap kelompok
sosial yang terbentuk pada masa anak sekolah dapat berubah/diubah oleh
pengalaman anak di kemudian hari.

9. Mencapai kebebasan. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak menjadi
individu yang otonom atau bebas, dalam arti dapat membuat rencana untuk masa
sekarang dan masa yang akan datang, bebas dari pengaruh orang tua atau orang
lain. Kebebasan pribadi pada anak dimungkinkan apabila anak menyadari bahwa
mereka dapat berbuat lebih baik dari orang tua atau guru mereka. Dengan demikian, mereka pun dapat mulai mengembangkan pengetahuannya secara bebas dan membuat keputusan sendiri tanpa terlalu tergantung pada orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya.

Keberhasilan melaksanakan tugas-tugas perkembangan sebelumnya seperti mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya, berkembangnya konsep dan pengetahuan anak, serta berkembangnya hati nurani dan nilai serta sikap moral anak sangat membantu dan berpengaruh terhadap pemilihan keputusan yang diambil. Keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya dapat menjadi ”laboratorium” bagi perkembangan kebebasan anak dalam menentukan pilihan keputusan. Memang dapat terjadi anak salah mengambil keputusan. Oleh karena itu, bimbingan dari orang dewasatetap diperlukan.


Selengkapnya...

Tugas Perkembangan Peserta Didik Usia SD/MI

Tugas Perkembangan Peserta Didik Usia SD/MI

Seperti telah dikemukakan pada subunit sebelumnya, peserta didik usia
SD/MI berada pada periode anak sekolah (6-12 tahun) yang memiliki karakteristik
perkembang-an tertentu sesuai dengan sebutan (label) yang diberikan oleh orang tua,
pendidik, maupun psikolog. Karakteristik perkembangan pada periode anak sekolah
tersebut, menurut Rifai (1977), pada intinya memiliki tiga ciri pokok yaitu: (1)
dorongan untuk ke luar dari rumah dan masuk ke dalam kelompok anak-anak sebaya;
(2) dorongan yang bersifat kejasmaniaan untuk memasuki dunia permainan anak
yang menuntut keterampilan tertentu; serta (3) dorongan untuk memasuki dunia
orang dewasa yaitu dunia konsep-konsep logika, simbol dan komunikasi, serta
kegiatan mental lainnya.

Sekolah Dasar sebagai lembaga pendidikan formal merupakan sarana yang
disiapkan masyarakat untuk


membantu anak melaksanakan dan menyelesaikan
tugas-tugas perkembangan pada periode masa anak akhir (6-12 tahun). Oleh karena
itu, sekolah dasar tidak hanya memfasilitasi anak untuk mempelajari kemampuan
dasar membaca, menulis, dan menghitung (calistung) tetapi juga memfasilitasi anak
agar dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan lainnya. Misalnya, guru
mengajarkan cara-cara yang dapat digunakan dalam pergaulan sehari-hari yang
berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
sekitarnya.


Selengkapnya...

Pengertian, Tujuan, dan Faktor yang Mempengaruhi Tugas Perkembangan

Pengertian, Tujuan, dan Faktor yang Mempengaruhi Tugas Perkembangan

Tugas perkembangan atau development tasks menurut Havighurst (Rifai, 1984) adalah ”tugas-tugas yang harus dipecahkan dan diselesaikan oleh setiap individu pada setiap periode perkembangannya agar supaya individu tersebut menjadi berbahagia”. Memang ada tugas perkembangan tertentu yang dapat dan harus dipelajari dalam waktu khusus pada periode perkembangan tertentu, tetapi ada juga yang perlu dipelajari dalam waktu yang tidak terbatas. Misalnya, belajarberjalan dipelajari pada tugas perkembangan periode kanak-kanak awal, sedangkan kemampuan bersosialisasi perlu dipelajari sepanjang rentang kehidupan seseorang.

Havighurst (Hurlock, 1991) juga membagi tugas-tugas perkembangan
sepanjang rentang kehidupan atas tugas-tugas perkembangan pada


masa bayi dan
awal masa kanak-kanak, akhir masa kanak-kanak, masa remaja, awal masa dewasa,
masa usia pertengahan, dan masa tua. Pada setiap periode terdapat tugas-tugas
perkembangan yang berbeda-beda, tetapi berkelanjutan. Seseorang yang tidak dapat
menyelesaikan tugas perkembangan pada tahap tertentu tidak akan mencapai
kebahagiaan dalam hidupnya. Demikian juga, seseorang akan menghadapi persoalan
apabila mengalami kelambatan ataupun kecepatan dalam menyelesaikan tugas
perkembangan sesuai periodenya.

Menurut Hurlock (1990), tujuan mempelajari tugas perkembangan ialah: (1)
mendapatkan petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan
masyarakat dari mereka pada periode usia-usia tertentu; (2) memberikan motivasi
kepada individu untuk melakukan apa yang diharapkan dari mereka oleh kelompok
sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupannya; serta (3) menunjukkan kepada
individu tentang apa yang akan dihadapi dan tindakan apa yang diharapkan kalau
sampai pada tingkat perkembangan berikutnya.

Tugas perkembangan pada setiap periode perkembangan manusia dipengaruhi oleh tiga faktor berikut.
1. Faktor tuntutan kebudayaan dalam bentuk kekuatan-kekuatan, norma hidup,
harapan-harapan dalam bentuk cita-cita, nilai-nilai ideal, dll dalam kehidupan
individu yang sedang berkembang. Tuntutan kebudayaan ini mengakibatkan
orang yang sedang dalam proses perkembangan harus melakukan sesuatu untuk
memenuhinya agar dapat diterima dalam kelompok masyarakat budaya tersebut.
Misalnya, masyarakat di kota besar mulai menyekolahkan anaknya ketika berusia
tiga atau empat tahun di Kelompok Bermain ataupun Taman Kanak-kanak. Jika
anak berusia lima tahun belum bersekolah akan berdampak pada diri anak. Anak
merasakan ada sesuatu yang kurang lengkap, anak merasa kurang bahagia, dan
akan mengalami kesulitan belajar di SD kelas 1. Keadaan ini menuntut orang tua
untuk menyekolahkan anak-anak mereka lebih awal.

2. Kematangan fisik turut menentukan dalam munculnya tugas-tugas perkembangan pada periode usia-usia tertentu, di samping kondisi kesehatan dan kecacatan. Misalnya keterampilan bermain dalam kelompok pada anak SD kelas 3 sangat tergantung pada kondisi kesehatan fisik dan kematangan sosial. Anak yang cacat anggota tubuhnya (kaki atau tangan) akan mengalami kesulitan ketika melakukan kegiatan bermain, yang selanjutnya berdampak pada perkembangan sosialnya.

3. Kepribadian seseorang antara lain intelegensi, minat, sikap, kecenderungan
sosial emosional, sifat dan karakter, dll. Misalnya seorang anak akan berprestasi
dalam bidang akademik di SD/MI, kalau ia mempunyai kemampuan akademik
yang baik, sifat tekun dan rajin belajar, dan motivasi untuk mencapai prestasi.



Selengkapnya...

Karakteristik Perkembangan pada Masa Puber (11/12 – 14/15 tahun)

Karakteristik Perkembangan pada Masa Puber (11/12 – 14/15 tahun)

Masa puber adalah suatu periode tumpang tindih antara masa anak akhir dan
masa remaja awal. Periode ini terbagi atas tiga tahap, yaitu tahap: prapuber, puber,
dan pascapuber. Tahap prapuber bertumpang tindih dengan dua tahun terakhir masa
anak akhir. Tahap puber terjadi pada batas antara periode anak dan remaja, di mana
ciri kematangan seksual semakin jelas (haid dan mimpi basah). Tahap pascapuber
bertumpang tindih dengan dua tahun pertama masa remaja.

Pada masa puber yang waktunya relatif singkat (2-4 tahun) ini terjadi pertumbuhan dan perubahan yang sangat pesat dan mencolok dalam

proporsi tubuh, sehingga menimbulkan keraguan dan perasaan tidak aman pada anak puber. Dampak lebih lanjut, anak mengambil sikap ”anti” terhadap kehidupan, dan mengalami kehilangan sifat-sifat baik sebelumnya yang terjadi pada masa anak.
Tak heran jika ada yang menyebut masa ini sebagai fase negatif. Perubahan fisik/tubuh anak puber yang sangat pesat berkenaan dengan perubahan ukuran tubuh (tinggi dan berat badan), proporsi tubuh (perbandingan bagian-bagian tubuh), dan ciri-ciri seks primer (organ-organ reproduksi), dan ciri-ciri seks sekunder (rambut, otot, suara, payudara, dll). Perubahan fisik yang cepat dan mencolok ini mengakibatkan perubahan sikap dan perilaku anak puber.

Karakteristik puber antara lain: sikap menarik diri dan menyendiri; merasa bosan melakukan kegiatan permainan pada masa anak; inkoordinasi gerakan yang mengakibatkan kecanggungan; antagonisme sosial yang membuat anak sulit bekerjasama dan sering membantah atau menentang; emosi meninggi sehingga puber cenderung merasa sedih, marah, gelisah, khawatir, kurang percaya diri; dan ada juga yang cenderung berpenampilan sangat sederhana dan bersahaja. Perubahan fisik dan sikap puber ini berakibat pula pada menurunnya prestasi belajar, permasalahan yang terkait dengan penerimaan dan konsep diri, serta persoalan dalam berhubungan dengan orang di sekitarnya.

Selain karakteristik sikap puber yang umum, ada juga sikap karakteristik
puber yang dapat menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan anak puber mengalami
matang lebih awal atau terlambat. Matang lebih awal kurang menguntungkan bagi
anak perempuan daripada anak laki-laki. Anak perempuan yang matang lebih awal
menjadi salah tingkah dan berperilaku lebih dewasa sehingga sikapnya menjadi genit
dibanding-kan dengan anak seusianya. Sebaliknya, anak laki yang matang terlambat
sering merasa ketakutan tidak akan pernah menjadi dewasa.

Sebaiknya orang dewasa mempersiapkan anak pada masa anak akhir untuk
memasuki masa puber dengan menjadi teman bagi anaknya dan memberikan
informasi mengenai perubahan fisik dan psikis yang akan terjadi pada masa puber.
Anak puber perlu didampingi agar dapat menerima tubuhnya yang berubah sangat
pesat. Demikian juga, orang dewasa perlu memahami sikap perilaku anak puber yang
kadang menarik diri, emosional, perilaku negatif dll, serta membantunya agar anak
dapat menerima peran seks dalam kehidupan bersosialisasi dengan orang/masyarakat
di sekitarnya.


Selengkapnya...

Karakteristik Perkembangan Masa Anak Akhir (6-12 tahun)

Karakteristik Perkembangan Masa Anak Akhir (6-12 tahun)

Permulaan awal masa anak akhir ditandai dengan masuknya anak ke sekolah
formal di SD kelas satu. Masuk SD kelas 1 merupakan peristiwa penting bagi
kehidupan setiap anak, sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap dan
perilakunya. Sementara anak menyesuaikan diri dengan tuntutan dan harapan sosial
di sekolah, kebanyakan anak berada dalam keadaan tidak seimbang (disequilibrium).
Karakteristik atau ciri-ciri periode masa anak akhir, sama halnya dengan ciri-
ciri periode masa anak awal dengan memperhatikan sebutan atau label yang
digunakan orang tua, pendidik, maupun psikolog perkembangan anak.

Orang tua menyebut masa anak akhir sebagai


usia yang menyulitkan karena
anak pada masa ini anak lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya
daripada oleh orang tuanya sehingga sulit bahkan tidak mau lagi menuruti perintah
orang tuanya. Kebanyakan anak pada masa ini juga kurang memperhatikan dan tidak
bertanggung jawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya, sehingga orang tua
menyebutnya usia tidak rapi. Anak tidak terlalu memperdulikan penampilannya.
Mereka cenderung ceroboh, semaunya, dan tidak rapi dalam memelihara kamar dan
barang-barangnya. Pada masa ini, anak juga sering kelihatan saling mengejek dan
bertengkar dengan saudara-saudaranya sehingga orang tua menyebutnya sebagai usia
bertengkar.

Para pendidik memberi sebutan anak usia sekolah dasar, karena pada rentang
usia ini (6-12 tahun) anak bersekolah di sekolah dasar. Di sekolah dasar, anak
diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang dianggap penting untuk keberhasilan melanjutkan studi dan penyesuaian diri dalam kehidupannya kelak. Para pendidik juga memandang periode ini sebagai usia kritis
dalam dorongan berprestasi. Dorongan berprestasi membentuk kebiasaan pada anak
untuk mencapai sukses ini cenderung menetap hingga dewasa. Apabila anak
mengembangkan kebiasaan untuk belajar atau bekerja sesuai, di bawah, atau di atas
kemampuannya, maka kebiasaan ini akan menetap dan cenderung mengenai semua
bidang kehidupan anak, baik dalam bidang akademik maupun bidang lainnya.

Psikolog perkembangan anak memberi sebutan anak pada masa ini sebagai
usia berkelompok. Pada usia ini perhatian utama anak tertuju pada keinginan
diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota kelompoknya. Oleh karena itu,
anak ingin dan berusaha menyesuaikan diri dengan standar yang disepakati dan
berlaku dalam kelompok sehingga masa anak ini disebut juga usia penyesuaian diri.
Anak berusaha menyesuaikan diri dengan standar yang berlaku dalam kelompok,
misalnya dalam berbicara, penampilan dan berpakaian, dan berperilaku.

Periode ini juga disebut usia kreatif sebagai kelanjutan dan penyempurnaan
perilaku kreatif yang mulai terbentuk pada masa anak awal. Kecenderungan kreatif
ini perlu mendapat bimbingan dan dukungan dari guru maupun orang tua sehingga
bekembang menjadi tindakan kreatif yang positif dan orisinal, tidak negatif dan
sekedar meniru tindakan kreatif orang atau anak yang lain. Selain itu, periode ini
disebut juga dengan usia bermain, karena minat dan kegiatan bermain anak semakin
meluas dengan lingkungan yang lebih bervariasi. Mereka bermain tidak lagi hanya di
lingkungan keluarga dan teman di sekitar rumah saja, tapi meluas dengan lingkungan
dan teman-teman di sekolah.

Secara singkat, perkembangan pada masa anak akhir meliputi perkembangan
berbagai aspek baik fisik maupun psikis (berbicara, emosi, sosial, dll). Pertumbuhan
fisik pada periode anak akhir berjalan lambat dan relatif seragam. Bentuk tubuh
mempengaruhi tinggi dan berat badan anak, yang dipengaruhi oleh faktor genetik,
kesehatan dan gizi, serta perbedaan seks atau jenis kelamin. Keterampilan motorik
seperti pilihan penggunaan tangan (kanan atau kidal) dan keterampilan bermain
(melempar dan menangkap bola, naik sepeda, bermain sepatu roda, berenang, dll)
mempengaruhi perkembangan sosial, emosional, dan konsep diri anak. Kemampuan
anak usia SD untuk dapat menolong dirinya sendiri (makan dan mandi sendiri,
membereskan tempat tidur dan buku sendiri) dan orang ;ain, baik di rumah maupun
di sekolah, perlu untuk mulai dikembangkan.

Perkembangan bahasa terutama berbicara dan penguasaan kosa kata mengalami peningkatan yang pesat. Sejalan dengan perkembangan bahasa, terjadi pula kemajuan dalam pengertian. Dengan demikian, pada periode ini mulai dikembangkan keterampilan dan kemampuan bersekolah (skolastik) seperti
kemampuan dalam membaca menulis dan menghitung, serta pengetahuan dan
keterampilan hidup yang diperlukan sesuai dengan usia dan lingkungan anak SD.

Perkembangan sosial mulai meluas dari lingkungan sosial di sekitar rumah
manjadi lingkungan dan teman-teman di sekolah. Kelompok anak usia sekolah
biasanya merupakan kelompok bermain yang terdiri atas anggota dari jenis kelamin
yang sama, serta ada aturan dan pemimpinnya yang mempunyai keunggulan
dibandingkan anggota kelompok lainnya.

Selain teman bermain, pada akhir masa anak SD ini pemilihan teman bukan sekedar teman bermain, tetapi juga menjadi teman baik/akrab atau sahabat yang dikarenakan adanya kemiripan dan kesesuaian minat dan sifat dengan dirinya. Status sosial anak yang diperoleh dari sosiometri mengenai kedudukan anak dalam kelompoknya dapat dimanfaatkan untuk pembentukan kelompok belajar atau kerja kelompok sehingga dapat mendorong anak untuk berprestasi. Perkembangan moral untuk berperilaku baik atau buruk tidak hanya berdasarkan respon senang atau tidak senang dari orang lain. Melainkan, mulai berkembang konsep-konsep moral yang umum dan berkembangnya suara hati yang mulai mengendalikan perilakunya. Anak mulai mencari konsep diri ideal dengan cara mengagumi tokoh-tokoh yang memiliki sifat keunggulan yang dibanggakan sebagai gambaran jatidiri yang ikut menentukan perilakunya.

Anak pada usia SD senang bermain dalam kelompoknya dengan melakukan
permainan yang konstruktif dan olahraga. Mereka senang permainan olahraga,
menjelajah daerah-daerah baru, mengumpulkan benda-benda tertentu, menikmati
hiburan seperti membaca buku atau komik, menonton film dan televisi, juga
melamun pada anak yang kesepian dan sedikit mempunyai teman bermain.

Minat dan kegiatan bermain anak yang memposisikan kedudukan anak dan
penerimaan serta pengakuan dari teman-teman sebaya, ikut berperan dalam
menciptakan kebahagian anak pada periode anak akhir. Namun demikian, pada
periode perkembangan ini pun terdapat bahaya potensial, baik yang bersifat fisiologis
maupun psikologis. Bahaya fisiologis antara lain penyakit, bentuk tubuh yang tidak
sesuai, kecelakaan, ketidakmampuan fisik, kecanggungan penampilan; sedangkan
bahaya psikologis antara lain masalah penyesuaian sosial karena kurangnya
dukungan dan pengakuan dari orang lain dan teman sebaya. Kegiatan dan kepuasan
berprestasi di sekolah baik secara akade-mik maupun nonakademik dapat menjadi
sumber kepuasan dan kebahagiaan pada anak.


Selengkapnya...

Karakteristik Perkembangan Masa Anak Awal (2 - 6 tahun)

Karakteristik Perkembangan Masa Anak Awal (2 - 6 tahun)

Umumnya orang berpendapat bahwa periode masa anak dirasakan sebagai
periode yang cukup lama. Peride ini berlangsung dari rentangan waktu 3-5 tahun dan
dilanjutkan 6-12 tahun relatif singkat. Tetapi, karena ketidakberdayaan dan
ketergantungan pada orang lain dirasakan relatif lama, anak-anak tidak sabar
menunggu saat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan anak-anak lagi,
melainkan sudah menjadi orang dewasa yang memiliki kebebasan untuk melakukan



apa pun menurut kehendaknya sendiri.

Masa anak awal berlangsung dari usia 2 – 6 tahun, yaitu setelah anak
meninggalkan masa bayi dan mulai mengikuti pendidikan formal di SD. Tekanan
dan harapan sosial untuk mengikuti pendidikan sekolah menyebabkan perubahan
pola perilaku, minat, dan nilai pada diri anak. Orang tua sering menyebut masa anak awal sebagai usia sulit dan mengundang masalah. Mengapa? Karena pada masa ini anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan. Perilaku anak sulit diatur, bandel, keras kepala, kadang menentang dan melawan orang tua, atau orang dewasa lainnya. Penyebabnya ialah mulai berkurangnya ketergantungan anak dibandingkan dengan pada masa bayi sebelumnya. Kemauan anak pun mulai berkembang. Pemahaman yang kurang tepat terhadap perubahan perkembangan anak pada masa ini dapat mengakibatkan orang dewasa tidak bersikap yang kurang semestinya. Hal ini akan mempengaruhi proses peletakan dasar pembentukan kepribadian yang dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.

Selain sebutan usia sulit dan bermasalah, orang tua juga menganggap masa
anak awal sebagai usia bermain karena sebagian besar waktu anak digunakan untuk
bermain. Sementara itu, para pendidik menyebut masa anak awal sebagai usia
prasekolah, di mana anak mulai dititipkan pada tempat penitipan anak (TPA).
Kemudian mereka memasuki kelompok bermain (KB). Terakhir, mereka memasuki
Taman Kanak-kanak (TK) yang menekankan pada kegiatan bermain dalam
pendidikan dan pembelajarannya untuk membantu perkembangan mereka melalui
belajar sambil bermain (learning by playing). Pada masa prasekolah ini, anak
dipersiapkan untuk mengikuti kegiatan yang akan diselenggarakan di sekolah formal
(SD).

Para psikolog perkembangan anak menyebut masa anak awal sebagai usia
kelompok. Mengapa? Karena anak mulai belajar dasar-dasar perilaku melalui
interaksi dengan anggota keluarga dan kelompok bermainnya. Selain itu juga, para
psikolog menyebut anak pada masa ini sebagai usia menjelajah dan usia bertanya.
Hal ini dikarenakan anak sudah mampu berjalan sehingga dapat menjelajah dan ingin
tahu sehingga selalu bertanya mengenai segala hal yang ditemui di lingkungan
kehidupan sekitarnya. Masa ini disebut juga usia meniru karena anak senang belajar
dengan cara meniru, terutama menirukan pembicaraan dan tindakan orang lain. Ada
pula yang menyebut masa ini sebagai usia kreatif. Pada periode ini anak memiliki
kecenderungan kuat untuk menunjukkan kreativitas mereka terutama dalam bermain
dibandingkan dengan masa lain dalam kehidupannya.

Pada masa ini perkembangan fisik dan motorik anak sangat pesat. Demikian
juga kemampuan berbicaranya. Anak mulai tertarik pada diri sendiri (egosentris).
Emosi yang umum pada masa anak awal adalah marah, takut, cemburu, ingin tahu,
gembira, sedih, dan kasih sayang. Sosialisasi pada masa anak awal terjadi melalui
interaksi dengan orang-orang di sekitar anak, yaitu anggota keluarga dan teman
bermain. Anak juga mulai belajar perilaku moral (baik – buruk) melalui respon

menyenangkan atau tidak menyenangkan dari orang tua atau orang dewasa lainnya.
Disiplin mulai dapat diterapkan pada anak sehingga anak dapat mulai belajar hidup
secara tertib. Sikap orang tua dan teman-teman berpengaruh dalam pembentukan
konsep diri yang menjadi dasar dan inti perkembangan kerpribadian anak
selanjutnya.

Bahaya potensial atau resiko pada masa anak awal dikelompokan atas bahaya
fisiologis dan bahaya psikologis. Bahaya fisiologis antara lain penyakit, kecelakaan,
kegemukan, atau kekurusan. Bahaya psikologis antara lain kesulitan berbicara,
keadaan dan gangguan emosi, kesulitan dalam sosialisasi melalui kegiatan bermain,
serta kebiasaan, disiplin, dan konsep diri yang kurang positif. Kebahagiaan anak
pada masa ini antara lain dipengaruhi oleh kondisi kesehatan yang baik, pengakuan
orang lain akan perilaku kekanakannya, bebas mengungkapkan ekspresi emosi,
harapan sosial yang realistis, kesempatan untuk melakukan eksplorasi, suasana
gembira, serta dukungan keluraga.



Selengkapnya...

Karakteristik Perkembangan Peserta Didik Usia Sd/Mi

Karakteristik Perkembangan Peserta Didik Usia Sd/Mi

Para ahli membagi periode perkembangan berbeda-beda, sesuai dengan sudut
pandangnya. Pada pembahasan subunit ini dikemukakan pembagian periode
perkembangan menurut Hurlock yang membaginya kedalam lima periode
perkembangan yang utama> kelima periode itu mencakup: periode pranatal (janin
dalam kandungan), periode bayi, periode anak (awal dan akhir), periode remaja
(awal dan akhir), serta periode dewasa (awal/dini, madya, lanjut usia).

Pada subunit berikut ini Anda akan mempelajari mengenai karakteristik


perkembangan peserta didik usia SD/MI yang berada pada periode atau masa anak
akhir dengan rentangan usia 6 – 12 tahun. Akan tetapi, akan tetapi, untuk
mengutuhkan wawasan Anda, subunit ini akan dilengkapi pula dengan sajian tentang
karakteristik periode sebelumnya yaitu masa anak awal (2 - 6 tahun) dan periode
sesudahnya yaitu masa puber (11/12-14/15 tahun). Setelah mempelajari subunit ini,
Anda diharapkan mampu mengidentifikasikan karakteristik perkembangan peserta
didik usia SD/MI.


Selengkapnya...

Prinsip-Prinsip Perkembangan

Prinsip-Prinsip Perkembangan

Setelah mempelajari pengertian ”perkembangan, belajar, dan peserta didik”, maka
berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip perkembangan yang perlu diketahui
sehingga akan membantu pemahaman Anda tentang perkembangan belajar peserta
didik dengan lebih baik lagi.

Prinsip-prinsip perkembangan yang dikemukakan pada bagian ini bersumber
dari buku Perkembangan Anak jilid 1 yang ditulis oleh Hurlock (1990). Sajian
tentang prinsip perkembangan tersebut mencakup:


: kaitan perkembangan dengan
perubahan, bandingan perkembangan awal dengan perkembangan selanjutnya,
hubungan perkembangan dengan proses kematangan dan belajar, karakteristik dan
urutan pola perkembangan, perbedaan individu dalam perkembangan, karakteristik
setiap periode perkembangan, harapan sosial pada setiap periode perkembangan dan
bahaya bahaya potensial yang dikandungnya, dan variasi kebahagiaan pada berbagai
periode perkembangan. Prinsip-prinsip perkembangan ini tidak perlu Anda hafalkan,
tetapi yang penting Anda dapat memahami dan menerapkannya ketika berinteraksi
dengan peserta didik.

Prinsip 1: Perkembangan Melibatkan Perubahan

Berkembang berarti mengalami perubahan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Perubahan secara kuantitatif disebut juga pertumbuhan. Peserta didik/anak
tidak saja menjadi bertambah besar secara fisik, tetapi juga ukuran dan struktur
dalam organ dan otak meningkat. Pada pertumbuhan ada peningkatan ukuran (berat
dan tinggi), maupun struktur atau proporsi tubuh. Perubahan secara kualitatif
ditandai dengan adanya perubahan fungsi yang besifat progresif/maju dan terarah.
Ada keterkatian antara perubahan yang satu dengan yang lain, maupun sebelum dan
sesudahnya.

Perubahan dalam perkembangan terjadi karena adanya dorongan dalam diri
individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan untuk merealisasikan/
mengakutalisasikan dirinya. Selain terjadi perubahan dalam bentuk penambahan
ukuran dan proporsi, terdjadi juga gejala hilangnya ciri-ciri lama dan munculnya ciri-
ciri baru. Misalnya, jika terjadi rambut rontok maka akan tumbuh rambut baru,
kemampuan bahasa anak berubah dari sekedar menangis sampai mampu berbicara
dan berkomunikasi denggan orang lain.

Prinsip 2: Perkembangan Awal Lebih Kritis daripada Perkembangan Selanjutnya

Tahun-tahun awal kehidupan anak (0-5 tahun) merupakan saat yang kritis bagi perkembangan selanjutnya. Perkembangan awal kehidupan merupakan landasan bagi pembentukan dasar-dasar kepribadian seseorang. Perilaku yang terbentuk cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap perilaku anak sepanjang hidupnya. Pada tahun tahun awal, anak belajar menyesuaikan dan membiasakan diri dengan berbagai hal yang ada di sekitarnya. Pada saat ini juga terbentuk kepercayaan dasar (basic trust) yang sangat penting dan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak selanjutnya.

Beberapa kondisi yang mempengaruhi dasar awal perkembangan antara lain:
hubungan antarpribadi terutama dengan anggota keluarga, keadaan emosi yang
terbentuk karena sikap menerima atau menolak dari orang tua atau anggota keluarga
yang lain, cara atau pola pengasuhan anak, latar belakang keluarga, serta rangsangan
yang diberikan. Anak yang kelahirannya tidak diharapkan, misalnya, akan
mempengaruhi sikap ibu dan anggota keluarga lain untuk tidak terlalu peduli,
kurang memberikan kasih sayang, dll. Hal ini membuat anak merasa diabaikan, tidak
diperlukan, tidak dikasihi, dan tidak nyaman, yang dapat berakibat lebih lanjut bagi
perilaku anak untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menarik perhatian
orang lain atau sebaliknya anak menjadi pendiam dan menarik diri.

Sikap dan perilaku anak yang terbentuk pada tahun-tahun awal kehidupan
cenderung bertahan/menetap dan mewarnai kepribadian dan sikap perilaku anak
dalam berinteraksi dengan diri dan lingkungan selanjutnya. Sikap dan perilaku yang
terbentuk agak sulit diubah, meskipun tidak berarti tidak dapat berubah sama sekali.
Akan tetapi, pengubahan sikap dan perilaku tersebut (terutama yang kurang
baik/negatif) memerlukan motivasi dan usaha keras dari orang yang bersangkutan
untuk mau berubah dan memperbaiki perilaku kebiasaan yang kurang baik tersebut.

Prinsip 3: Perkembangan Merupakan Hasil Proses Kematangan dan Belajar

Menurut teori Konvergensi yang dikemukakan oleh Stern, perkembangan
seseorang merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Stern memadukan atau
mengkonvergensikan teori Naturalisme dan Empirisme. Menurut teori Naturalisme,
perkembangan seseorang terutama ditentukan oleh faktor alam (nature), bakat pembawaan, keturunan/heriditas seseorang, termasuk di dalamnya kematangan
seseorang.. Sementara itu, teori Empirisme berpendapat bahwa perkembangan
seseorang terutama ditentukan oleh faktor lingkungan tempat anak/individu itu
berada dan tumbuh-kembang, termasuk di dalamnya lingkunan keluarga, sekolah,
dan belajar anak.

Kenyataannya, faktor pembawaan maupun lingkungan saling mempengaruhi
dalam perkembangan seseorang. Kedua faktor tersebut dapat dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan dalam perkembangan seseorang. Keduanya saling berinteraksi dan
mempengaruhi.Seorang anak yang mempunyai bakat musik,misalnya, perkembangan bakat atau kemampuan bermain musiknya tidak akan optimal apabila
tidak mendapatkan kesempatan belajar musik. Jadi, potensi anak/peserta didik yang
sudah ada/dibawa sejak lahir akan bekembang optimal, apabila lingkungan
mendukungnya. Dukungan itu di antaranya dengan penyediaan sarana prasarana
serta kesempatan untuk belajar dan mengembangkan potensi dirinya.

Prinsip 4: Perkembangan Mengikuti Pola Tertentu yang dapat Diramalkan

Perubahan akibat perkembangan yang terjadi pada seseorang mengikuti pola
urut tertentu yang sama, walaupun kecepatan masing-masing individu berbeda-
beda. Perkembangan fisik dan psikis bayi, misalnya, mengikuti hukum arah
perkembangan yang menyebar ke luar dari titik poros sentral tubuh ke anggota-
anggota tubuh (proxomodistal), serta menyebar ke seluruh tubuh, dari kepala ke kaki
(cephalucaudal). Demikian juga, pada perkembangan pola anak belajar berjalan.
Sebelumnya, anak mampu duduk lebih dahulu, berdiri, baru dapat berjalan, dan
kemudian berlari. Urutan pola ini tetap pada setiap anak, hanya berbeda dalam
kecepatan atau tempo yang dibutuhkan setiap anak untuk dapat berjalan.

Berkenaan dengan pola tertentu dalam perkembangan dikenal hukum tempo dan irama perkembangan. Tempo perkembangan adalah waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan aspek tertentu pada dirinya. Ada yang membutuhkan waktu yang cepat atau sebentar, sedang, atau lambat dalam belajar
atau mengembangkan kemampuan aspek tertentu. Irama perkembangan adalah ritme
atau naik turunnya gejala yang tampak akibat perkekembangan aspek tertentu.

Pada saat perkembangan tertentu anak tampak tenang atau goncang/gelisah.
Pada periode perkembangan sekurangnya ada dua periode di mana anak mengalami
kegon-cangan atau pancaroba. Pertama, pada masa krisis/menentang pertama (2-3
tahun) di mana kemauan/kehendak anak mulai berkembang dan ingin mandiri
sehingga menentang ketergantungan dirinya pada orang tua atau orang lain. Kedua,
pada masa krisis/ menentang kedua (14-17 tahun) anak ingin melepaskan diri dari
orang tua/orang dewasa dan mencari sampai menemukan jati dirinya sebagai
manusia dewasa yang mempunyai karakteristik tertentu.

Prinsip 5: Pola Perkembangan Memiliki Karakteristik Tertentu

Pola perkembangan, selain mengikuti pola tertentu yang dapat diramalkan,
juga terdapat pola-pola perkembangan karakteristik tertentu. Perkembangan
bergerak dari tanggapan/persepsi yang umum menuju yang lebih khusus. Pada awal
anak belajar atau berinteraksi dengan lingkungan, anak mendapat tanggapan secara
umum, baru kemudian secara bertahap tanggapan/pessepsi anak semakin khusus dan
terperinci.

Perkembangan pun berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini berarti,
perkembangan aspek sebelumnya akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
Demikian pula ada korelasi atau hubungan dalam perkembangan, artinya pada waktu perkembangan fisik berlangsung dengan cepat, maka terjadi pula perkembangan aspek-aspek lainnya, seperti perkembangan ingatan, penalaran, emosi, sosial, dll.
Kondisi yang mempengaruhi pola perkembangan ada yang bersifat permanen/ tetap seperti sebelum dan saat kelahiran (cacat, memiliki bakat tertentu), tetapi ada pula yang bersifat temporer seperti kondisi lingkungan (sakit, interaksi dengan anggota keluarga dan teman, kondisi sosial budaya, dll).


Prinsip 6: Terdapat Perbedaan Individu dalam Perkembangan

Dalam perkembangan seseorang, selain terdapat pola-pola umum yang sama
dan dapat diramalkan, terdapat pula perbedaan pada hal-hal yang khusus. Adanya
perbedaan individu dalam perkembangan disebabkan setiap anak adalah individu
yang unik, yang satu sama lain berbeda, kendati anak kembar. Perbedaan individu itu
disebabkan oleh faktor internal seperti sex atau jenis kelamin, faktor keturunan atau
heriditer, juga faktor eksternal seperti faktor gizi, pengaruh sosial budaya, dll.

Perbedaan perkembangan juga terjadi antara lain dalam kecepatan dan cara berkembang. Dengan mengetahui adanya perbedaan individu, maka kita tidak dapat
berharap semua anak pada usia tertentu akan memiliki kemampuan perkembangan
yang sama. Dan karenanya, kita tidak dapat memperlakukan semua anak dengan cara
yang sama. Pendidikan anak harus bersifat perseorangan. Maksudnya, pendidikan
dirancang dan dilaksanakan dengan memperhatikan perbedaan, kondisi, bakat dan
kemampuan serta kelemahan setiap individu anak. Dengan pendidikan dan perlakuan yang demikian, diharapkan setiap anak dapat berkembang optimal sesuai dengan
potensi dirinya.

Prinsip 7: Setiap Periode Perkembangan Memiliki Karakteristik Khusus

Setiap anak/peserta didik memang merupakan individu yang berbeda, yang
harus diperlakukan berbeda secara individual. Namun demikian, pada perkembangan
secara keseluruhan dan juga pada periode atau tahapan perkembangan dalam
kehidupan seseorang, terdapat pola-pola umum. Dengan memperhatikan karakteristik
khusus pada setiap periode atau tahapan perkembangan, maka diharapkan kita
mendapat gambaran mengenai apa yang akan terjadi sehingga dapat menyikapinya
dengan tepat dan membantu perkembangan anak secara optimal.

Para ahli mengemukakan berbagai macam pembagian periode atau tahap
perkembangan yang berbeda-beda. Salah satu pembagian periode perkembangan
yang dikemukakan oleh Hurlock adalah periode pralahir, periode bayi, periode anak
(awal dan akhir), periode remaja (awal dan akhir), serta periode dewasa (dewasa
dini, usia madya, dan usia lanjut).

Peralihan periode perkembangan sebelumnya ke periode berikutnya ditandai
oleh gejala keseimbangan dan ketidakseimbangan yang terjadi pada setiap individu.
Apabila individu telah mampu mengadakan penyesuaian dirinya dengan
perkembangan yang terjadi, maka terbangunlah suatu keseimbangan (equilibrium).
Selanjutnya, individu berupaya melepaskan diri dari ketergantungannya dengan
lingkungan atau keadaan sebelumnya untuk mencari sesuatu yang lebih baru
sehingga terjadi keadaan ketidakseimbangan (disequilibrium). Hal ini terjadi secara
berkelanjutan dalam perkembangan kehidupan seseorang.

Prinsip 8: Terdapat Harapan Sosial pada Setiap Periode Perkembangan

Pada setiap periode perkembangan juga terdapat harapan sosial, yang oleh
Havighurst disebut tugas perkembangan (development task). Mengingat pentingnya
peran tugas perkembangan pada setiap periode perkembangan, maka akan dibahas
secara tersendiri khususnya tugas perkembangan pada periode anak usia SD/MI (6-
12 tahun). Seseorang dianggap berperilaku normal apabila mampu melakukan tugas
perkembangan sesuai dengan tuntutan sosial pada periode tertentu dengan menunjukkan pola perilaku yang umum, dan perilaku bermasalah apabila individu
tidak berhasil memenuhi tugas perkembangan atau mengalami kesulitan dalam
mengadakan pernyesuaian perilaku, sesuai dengan tuntuan sosial dan pola perilaku
yang muncul pada periode tertentu. Perilaku bermasalah pada periode perkembangan

Prinsip 10: Kebahagiaan Bervariasi pada Berbagai Periode Perkembangan

Kebahagian dalam perkembangan sangat bervariasi karena sifatnya subjektif.
Rasa kebahagiaan itu dipersepsi dan dirasakan setiap orang dengan cara yang sangat
bervariasi. Akan tetapi,banyak orang berpendapat bahwa masa anak merupakan
periode yang membahagiakan dibandingkan dengan periode-periode lainnya.

Kebahagiaan pada masa kecil memegang peranan penting dalam perkembangan seseorang karena menjadi modal dasar bagi kesuksesan perkembangan dan kehidupan selanjutnya. Anak yang bahagia tercermin pada sosok dan perilakunya. Biasanya mereka sehat dan energik. Oleh karena itu, pada masa perkembangan, guru maupun orang tua perlu membekali anak dengan motivasi yang kuat, menyalurkan energi anak pada kegiatan-kegiatan bermanfaat, melatih mereka menghadapi dan menerima keadaan ketidakseimbangan dan situasi sulit dengan lebih tenang dan tidak panik, serta mendorong mereka untuk membina hubungan sosial secara sehat.

Berdasarkan hasil penelitian, kebahagaian seseorang dipengaruhi oleh
penerimaan (acceptance) dan kasih saying (affection) dari orang-orang di
sekitarnya, serta prestasi (achievement) yang dicapai oleh seseorang dalam kehidupannya.






Selengkapnya...

Pengertian Peserta Didik

Pengertian Peserta Didik

Peserta didik dalam arti luas adalah setiap orang yang terkait dengan proses
pendidikan sepanjang hayat, sedangkan dalam arti sempit adalah setiap siswa yang
belajar di sekolah (Sinolungan, 1997). Departemen Pendidikan Nasional (2003)
menegaskan bahwa, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan dirinya melalui jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Peserta didik
usia SD/MI adalah semua anak yang berada pada rentang usia 6 -12/13 tahun yang
sedang berada dalam jenjang pendidikan SD/MI.

Peserta didik merupakan subjek yang menjadi fokus utama dalam penyeleng-
garaan pendidikan dan pembelajaran. Penting Anda pahami sebagai guru kelas SD
bahwa pemahaman dan perlakuan terhadap peserta didik sebagai suatu totalitas atau


kesatuan. Menurut Semiawan (1999), konsep peserta didik sebagai suatu totalitas
sekurangnya mengandung tiga pengertian. Ketiga pengertian itu mencakup, pertama,
peserta didik adalah mahluk hidup (organisme) yang merupakan suatu kesatuan dari
keseluruhan aspek yang terdapat dalam dirinya. Aspek fisik dan psikis tersebut
terdapat dalam diri peserta didik sebagai individu yang berarti tidak dapat dipisahkan
antara suatu bagian dengan bagian lainnya. Kedua, keseluruhan aspek fisik dan psikis
tersebut memiliki hubungan yang saling terjalin satu sama lain. Jika salah satu aspek
mengalami gangguan misalnya sakit gigi (aspek fisik), maka emosinya juga
terganggu (rewel, cepat marah, dll). Ketiga, peserta didik usia SD/MI berbeda dari
orang dewasa bukan sekedar secara fisik, tetapi juga secara keseluruhan. Anak
bukanlah miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak yang dalam keseluruhan
aspek dirinya berbeda dengan orang dewasa.

Sinolungan (1997) juga mengemukakan, manusia termasuk peserta didik
adalah mahluk totalitas “homo trieka”. Ini berarti manusia termasuk peserta didik
merupakan: (a) mahluk religius yang menerima dan mengakui kekuasaan Tuhan atas
dirinya dan alam lingkungan sekitarnya; (b) mahluk sosial yang membutuhkan orang
lain dalam berinteraksi dan saling mempengaruhi agar berkembang sebagai
manusiaa; serta (c) mahluk individual yang memiliki keunikan (ciri khas, kelebihan,
kekurangan, sifat dan kepribadian, dll), yang membedakannya dari individu lain.
Jadi, dalam mempelajari dan memperlakukan peserta didik, termasuk peserta
didik usia SD/MI hendaknya dilakukan secara utuh, tidak terpisah-pisah. Kita harus
melihat mereka sebagai suatu kesatuan yang unik, yang terkait satu dengan lainnya.



Selengkapnya...

Pengertian Belajar

Pengertian Belajar

Cukup banyak para ahli yang merumuskan pengertian belajar. Slameto (1995) merumuskan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu
untuk memperoleh perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil
pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Sementara Winkel
(1989) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses kegiatan mental pada diri
seseorang yang berlangsung dalam interaksi aktif individu dengan lingkungannya,
sehingga menghasil-kan perubahan yang relatif menetap/bertahan dalam kemampuan
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Jadi, belajar pada hakikatnya merupakan

salah satu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan perilaku yang relatif dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik, yang diperoleh melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar terjadi secara sadar, bersifat kontinu, relatif menetap, dan mempunyai tujuan terarah pada kemajuan yang progresif.

Belajar pada abad 21, seperti yang dikemukakan Delors (Unesco, 1996),
didasar-kan pada konsep belajar sepanjang hayat (life long learning) dan belajar
bagaimana belajar (learning how to learn). Konsep ini bertumpu pada empat pilar
pembelajaran yaitu: (1) learning to know (belajar mengetahui) dengan memadukan
pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk bekerja melalui
kemampuan belajar bagaimana caranya belajar sehingga diperoleh keuntungan dari
peluang-peluang pendidikan sepanjang hayat yang tersedia; (2) learning to do
(belajar berbuat) bukan hanya untuk memperoleh suatu keterampilan kerja tetapi
juga untuk mendapatkan kompetensi berkenaan dengan bekerja dalam kelompok dan
berbagai kondisi sosial yang informal; (3) learning to be (belajar menjadi dirinya)
dengan lebih menyadari kekuatan dan keterbatasan dirinya, dan terus menerus
mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik dan mampu bertindak mandiri,
dan membuat pertimbangan berdasarkan tanggung jawab pribadi; (4) learning to live
together (belajar hidup bersama) dengan cara mengembangkan pengertian dan
kemampuan untuk dapat hidup bersama dan bekerjasama dengan orang lain dalam
masyarakat global yang semakin pluralistik atau /majemuk secara damai dan
harmonis, yang didasari dengan nilai-nilai demokrasi, perdamaian, hak asasi
manusia, dan pembangunan berkelanjutan.



Selengkapnya...

Pengertian Perkembangan

Pengertian Perkembangan

Perubahan merupakan hal yang melekat dalam pengertian perkembangan.
E.B. Hurlock (Istiwidayanti dan Soedjarwo, 1991) mengemukakan bahwa
perkembangan atau development merupakan serangkaian perubahan progresif yang
terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti,
perkembangan terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat progresif (maju),
baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Perubahan kuantitatif disebut juga ”pertumbuhan” merupakan buah dari perubahan aspek fisik seperti penambahan tinggi, berat dan proporsi badan seseorang. Perubahan kualitatif meliputi


perubahan aspek psikofisik, seperti peningkatan kemampuan berpikir, berbahasa, perubahan emosi dan sikap, dll. Selain perubahan ke arah penambahan atau peningkatan, ada juga yang mengalami pengurangan seperti gejala lupa dan pikun. Jadi perkembangan bersifat dinamis dan tidak pernah statis..

Terjadinya dinamika dalam perkembangan disebabkan adanya ”kematangan
dan pengalaman” yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan
aktualisasi/ realisasi diri. Kematangan merupakan faktor internal (dari dalam) yang
dibawa setiap individu sejak lahir, seperti ciri khas, sifat, potensi dan bakat.
Pengalaman merupakan intervensi faktor eksternal (dari luar) terutama lingkungan
sosial budaya di sekitar individu.

Kedua faktor (kematangan dan pengalaman) ini secara simultan mempengaruhi perkembangan seseorang. Seorang anak yang memiliki bakat musik dan didukung oleh pengalaman dalam lingkungan keluarga yang mendukung pengembangan bakatnya seperti menyediakan dan memberi les musik, akan berkembang menjadi seorang pemusik yang handal. Perubahan progresif yang berlangsung terus menerus sepanjang hayat memungkinkan manusiamenyesuaikan diri dengan lingkungan di mana manusia hidup. Sikap manusia terhadap perubahan berbeda-beda tergantung beberapa faktor, diantaranyapengalaman pribadi, streotipe dan nilai-nilai budaya, perubahan peran, serta penampilan dan perilaku seseorang.

Selengkapnya...

Senin, 07 Desember 2009

KARAKTERISTIK MODEL PEMBELAJARAN

KARAKTERISTIK MODEL PEMBELAJARAN SECARA UMUM

Beberapa model yang dipilih dari semua kelompok model di atas akan dibahas pada uraian berikut. Sebagaimana dikemukakan oleh Joyce dan Weill (1986), setiap model belajar mengajar memiliki unsur unsur karakteristik sebagai berikut :
a. Sintakmatik,
b. Sistem Sosial,
c. Prinsip Reaksi,
d. Sistem Pendukung, dan
e. Dampak Instruksional dan Pengiring

Adapun yang dimaksud dengan:
• Sintakmatik, ialah tahap tahap kegiatan dari model itu.
• Sistem Sosial ialah situasi atau suasana, dan norma yang berlaku dalam model tersebut
• Prinsip Reaksi ialah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para pelajar, termasuk bagaimana seharusnya pengajar memberikan respon terhadap mereka. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya para pengajar menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model.
• Sistem Pendukung ialah segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untak melaksanakan model tersebut.


• Dampak Instruksional ialah hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan peserta didik pada tujuan yang diharapkan
• Dampak Pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses belajar mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh peserta didik tanpa pengarahan langsung dari pengajar
Selanjutnya akan dikemukakan masing-masing kelompok model dipilih satu model belajar mengajar sebagai contoh, yang diperkirakan dapat dimanfaatkan.



Selengkapnya...

MODEL PEMBELAJARAN

BEBERAPA MODEL PEMBELAJARAN

Dari hasil kajian terhadap berbagai model belajar mengaiar yang secara khusus telah dikembangkan dan dites oleh para pakar kependidikan di bidang itu, Joyce dan Weil (1986) mengelompokkan model model tersebut ke dalam empat kategori, yakni :
a. Kelompok Model Pengolahan Informasi atau “The Information Processing Family”,
b. Kelompok Model Personal atau “The Personal Family”,
c. Kelompok Model Sosial atau “The social Family”,
d. Kelompok Model Sistem Prilaku atau “The Behavioral System Family”.

3.1. Kelompok Model Pengolahan Informasi

Model model Belajar Mengajar Pengolahan. Informasi pada dasarnya menitikberatkan pada cara cara memperkuat dorongan¬ dorongan internal (datang dan dalam diri) manusia untuk

memahami dunia dengan cara menggali dan mengorganisasikan. data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan pemecahannya, serta mengembangkan bahasa, untuk mengungkapkannya. Beberapa model dalam kelompok ini memberikan kepada peserta didik sejumlah konsep, sebagian lagi menitikberatkan pada pembentukan konsep dan pengetesan hipotesis, dan sebagian lainnya memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif.
Model pembelajaran ini menekankan pada peserta didik agar memiliki kemampuan untuk memproses informasi sehingga peserta didik yang berhasil dalam belajar adalah yang memiliki kemampuan dalam mengolah informasi.

Tugas guru dalam model ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memproses informasi. Guru juga bertugas untuk menciptakan lingkungan/ kondisi agar peserta didik mampu memiliki kemampuan berikut:
• dapat menangkap stimulus dari lingkungannya
• dapat merumuskan masalah
• dapat mengembangkan pemecahan masalah, baik menggunakan lambing verbal maupun non verbal.

Guru yang menganut model ini akan menaruh perhatian pada pengembangan kecakapan peserta didik dalam mengatasi setiap persoalan dan menggunakan pendekatan “problem solving” sebagai strategi mengajar, sehingga kemampuan tersebut disertai dengan pengembangan kreativitas.

Secara umum banyak dan model pengolahan informasi ini yang dapat diterapkan kepada peserta didik dari berbagai usia yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah model :
1. Pencapaian Konsep (Concept Attainment)
2. Berfikir Indukfif (Inductive Thinking)
3. Latihan Penelitian (Inquiry Training)
4. Pemandu Awal (Advance Organizers)
5. Memorisasi (Memorization)
6. Pengembangan Intelek (Developing Intellect), dan
7. Penelitian Ilmiah (Scientific Inquiry).

3.2. Kelompok Model Personal atau “Personal Model”
Disadari bahwa kenyataan hidup manusia pada akhirnya terletak pada kesadaran individu. Manusia mengembangkan kepribadian yang unik, dan melihat dunia dari sudut pandangannya yang juga unik yang merupakan hasil dari pengalaman dan kedudukannya. Pengertian umum merupakan hasil kesepakatan individu individu yang harus hidup, bekerja, dan membentuk keluarga secara bersama sama.

Model Personal beranjak dari pandangan kedirian atau “selfhood” dari individu. Proses pendidikan sengaja diusahakan untuk memungkinkan dapat memahami diri sendiri dengan baik, memiku tanggung jawab untuk pendidikan, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Model pembelajaran di dalam kelompok ini sangat mementingkan efek pengiring (nurturant effect).

Model ini menekankan pada pentingnya peningkatan kemampuan secara individual. Nilai seorang pendidik adalah mampu membentuk kekhasan khusus setiap individu. Yang menjadi perhatian guru adalah:
• Bagaimana setiap individu mengalami proses perkembangan secara wajar
• Setiap murid mampu mengkonstruksi dirinya sendiri (self concept)
• Sering memperhatikan aspek-aspek emosional individu dengan asumsi apabila setiap individu memiliki ketertiban pribadi internal maka dapat menghubungkannya dengan dirinya sendriri maupun dengan lingkungan.

Dengan demikian, Kelompok Model Personal memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok model ini adalah:
1. Pengajaran Tanpa Arahan(Non Directive Teaching)
2. Sinektiks (Synectics Model)
3. Latihan Kesadaran (Awareness Training), dan
4. Pertemuan Kelas (Classroom Meeting).
3.3. Kelompok Model Sosial atau “Social models”

Harus diakui bahwa. kerjasama merupakan salah satu fenomena kehidupan masyarakat. Dengan kerjasama manusia dapat membangkitkan dan menghimpun tenaga atau “energy” secara bersama yang kemudian disebut “synergy” (Joyce dan Weill : 1986). Kelompok Model Sosial ini dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama. Model-model interaksi social didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu: (1) masalah-masalah social diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh di dalam dan menggunakan proses-proses social, (2) proses social yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build in dan terus menerus.

Kelompok model ini menganggap bahwa mengajar pada hakekatnya sebagai hubungan sosial dan manusia yang pandai melakukan hubungan social itulah yang dapat membentuk “better society”. Model ini menekankan pentingnya individu untuk melakukan hubungan dengan orang lain.

Model ini telah banyak diteliti dalam rangka pengetesan keberlakuannya. David dan Roder Johnson dan kawan kawan (1974, 1981) dan Robert Shavin (1983) telah bekerja sama dengan para guru untuk mengkaji kemanfaatan dari penggunaan “cooperative rewards” atau hadiah yang diberikan atas suatu kerjasama, dan struktur tugas kerjasama atau “cooperative task structure” dalam suatu kegiatan kelompok. Hasilnya cukup meyakinkan, ternyata belajar bersama dapat membantu berbagai proses belajar. Namun demikian hal ini tidaklah berarti bisa dipakai begitu saja. Yang harus dicatat ialah, “synergy” dapat memberikan keuntungan, dan oleh karena itu pula model model sosial merupakan bagian penting dari proses belajar mengajar secara. keseluruhan.

Kelompok model ini meliputi sejumlah model, seperti berikut :
1. Investigasi Kelompok (Group Investigation),
2. Bermain Peran (Role Playing),
3. Penelitian Yurisprudensial (Jurisprudential Inquiry),
4. Latihan Laboratoris (Laboratory Training), dan
5. Penelitian llmu Sosial (Social Science Inquiry).

3.4. Kelompok Model Sistem Perilaku atau “Behavioral Systems”

Bertolak dari psikologi behavioristik, model-model pembelajaran kelompok ini mementingkan penciptaan sistem lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan tingkah laku (reinforcement) secara efektif sehingga terbentuk pola tingkah laku yang dikehendaki. Dasar teoritik dari kelompok model ini ialah teori teori belajar sosial atau “social learning theories”. Model ini dikenal pula sebagai model Modifikasi Perilaku atau “Behavioral Modification”. Terapi Perilaku atau “Behavioral Therapy”, dan Sibernetika atau “Cybernet¬ics”. Dasar pemikiran dari kelompok model ini ialah sistem Komunikasi yang mengoreksi sendiri atau “self correcting communication sys¬tems” yang memodifikasi perilaku dalam hubungarmya dengan bagaimana tugas tugas dijalankan dengan sebaik baiknya.

Dengan berdasar pada konsep bagaimana seseorang memberikan respon terhadap tugas dan umpan balik, para ahli psikologis, seperti Skinner (1953) telah mempelajari bagaimana mengorganisasikan struktur tugas dan umpan balik agar dapat memberikan kemudahan terhadap hilangnya rasa takut pada diri seseorang, bagaimana belajar membaca dan menghitung, mengembangkan keterampilan atletik dan sosial, menghilangkan rasa cemas dan cara santai, dan mempelajari keterampilan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang perlu bagi seorang pilot atau astronout. Oleh karena. itu, model ini memusatkan perhatian pada perilaku yang terobservasi atau “overt behaviour”, dan metode dan tugas yang diberikan dalam rangka mengkomunikasikan keberhasilan.

Yang termasuk ke dalam kelompok ini yaitu :
1. Belajar Tuntas (Mastery Learning),
2. Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
3. Belajar Kontrol Diri (Learning Sey Control),
4. Latihan Pengembangan Keterampilan dan Konsep (Training for Skill and Concept Development) dan
5. Latihan Asertif (Assertive Training).





Selengkapnya...

PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN

PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN

Secara khusus istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan dalam pengertian lain, “model” juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti “globe” adalah model dari bumi tempat kita hidup. Dalam uraian selanjutnya, istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang pertama sebagai kerangka konseptual. Yang dimaksud dengan “Model Pembelajaran” adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Joyce & Well, 1986).

Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, merancang bahan-bahan pembelajaran serta membimbing pembelajaran di kelas. Dengan demikian aktivitas belajar mengajar benar benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.

Dalam rangka pemanfaatan model yang telah ada, Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986) telah menyajikan berbagai model belajar mengajar yang telah dikembangkan dan dites keberlakuannya oleh para pakar kependidikan. Walaupun judul buku yang memuat tentang model-¬model tersebut adalah “Models of Teaching” akan tetapi isinya secara mendasar bukan semata mata menyangkut kegiatan guru mengajar, akan tetapi justru lebih menitikberatkan pada aktivitas belajar murid. Sebagaimana ditegaskan oleh Joyce dan Weil (1986), hakikat mengajar atau “teaching” adalah “Membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, cara untuk mengekspresikan dirinya, dan cara cara belajar bagaimana belajar”. Dalam kenyataan sesungguhnya, hasil akhir atau hasil jangka panjang dari proses belajar mengajar ialah “... the students increased capabilities to learn more easily and effectively in the future”. Kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif di masa yang akan datang (Joyce dan Weil,1986:1). Karena itu, proses belajar mengajar tidak hanya memiliki makna deskriptif dan kekinian, akan tetapi juga bermakna prospektif dan berorientasi masa depan.

Dasar Pengelompokan Model Pembelajaran

Agar model-model pembelajaran dapat dipahami secara cermat, sehingga dapat diaplikasikan secara tepat, maka perlu ada pengklasifikasian model pembelajaran secara umum. Upaya pengklasifikasian ini harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. Pengaturan guru dan siswa
Yang perlu diperhatikan dalam penerapan model, apakah guru yang menyampaikan adalah guru kelas atau guru bidang studi, guru tim atau atau perorangan. Apakah hubungan guru siswa terjadi secara tatap muka atau dengan perantaraan media. Apakah system belajarnya secara klassikal, kelompok atau perorangan akan menentukan jenis model pembelajaran yang akan digunakan.

b. Struktur peristiwa belajar mengajar
Struktur peristiwa belajar mengajar dapat terjadi secara tertutup dan terbuka. Peristiwa belajar mengajar yang tertutup desain telah ditentukan dan digariskan secara baku dan guru tidak menyimpang dari rencana, sedangkan struktur peristiwa belajar mengajar yang bersifat secara terbuka, maka tujuan instruksional, materi serta prosedur yang ditempuh untuk mencapainya ditentukan, sementara kegiatan belajar mengajar berlangsung.

c. Peranan guru-siswa dalam mengolah “pesan”
Pesan yang akan disampaikan guru dapat diolah tuntas oleh guru sebelum disampaikan kepada siswanya atau akan dicari bersama-sama dengan sisa penyelesaiannya. Pesan yang telah diolah tuntas oleh guru bersifat ekspositorik, biasanya digunakan metode ceramah, sedangkan pesan yang dikompromikan dengan siswa disebut heuristic atau hipotetik. Pesan yang disampaikan secara heuristic atau hipotetik biasanya bersifat mencari dan menemukan sendiri atau melalui metode discovery dan inquiry.

d. Proses Pengolahan Pesan
Proses pengolahan pesan ini dapat bertolak dari contoh-contoh yang akan sampai kepada kesimpulan atau dapat pula bertolak dari gambaran umum yang kemudian sampai kepada contoh-contoh. Pengolahan pesan dari contoh-contoh yang bersifat konkrit kepada penemuan prinsip/kesimpulan atau bergerak dari cara berfikir khu-sus ke umum dinamakan strategi belajar mengajar yang bersifat induktif, sedangkan untuk kebalikannya yaitu cara berfikir dari umum ke khusus dinamakan cara berfikir deduktif.

e. Tujuan-tujuan belajar
Tujuan belajar yang akan dicapai apakah bersifat intelektual, strategi kognitif, informasi berbal, ketrampilan motorik, sikap dan nilai atau gabungan dari kesemuanya.


Selengkapnya...

TEORI BELAJAR ALIRAN SIBERNETIK

TEORI BELAJAR ALIRAN SIBERNETIK

Teori belajar jenis keempat, mungkin yang paling baru dari semua teori belajar yang kita kenal, adalah teori sibernetik. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi.
Sekilas, teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik. Namun, yang lebih penting lagi adalah ”sistem informasi” yang diproses itu. Informasi inilah yang akan menentukan proses.

Asumsi lain dari teori sibernetik ini adalah


bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa. Maka, sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini misalnya telah dikembangkan oleh Landa (dalam pendekatan yang disebut ”algoitmik”dan ”heuristik”), Pask san Scott (dengan pembagian siswa tipe ”menyeluruh” atau ”wholist”, dan tipe ”serial” atau ”serialist”), atau pendekatan-pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan informasi.

Landa
Menurut Landa, ada dua macam proses berpikir. Yang pertama disebut proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu. Jenis kedua addalah cara berpikir heuristik, yakni vara berpikir divergan, menuju ke beberapa target sekaligus.

Proses belajar akan berjalan dengan beik jika apa yang hendak dipelajari itu atau masalah yang hendak dipecahkan (atau dalam istila yang lebih teknis: sistem informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat disajikan dalam urutan teratur, linier, sekuensial, satu hal lain lebih tepat bila disajikan dalam bentuk ”terbuka” dan memneri keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir.
Misalnya, agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus ini disajikan dengan cara algoritmik. Alasannya adalah, sebuah rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu. Namun, untuk memahami makna suatu konsep yang luas dan banyak memiliki interpretasi (misalnya konsep ”kemerdekaan”), maka akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah ”menyebar” (heuristik), dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatis, linier.

Pask Dan Scott
Pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott itu disan dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir ”menyeluruh” (wholist) tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke ”gambaran lengkap” sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detil-detil yanng kita amati dahulu, tapi seluruh lukisan itu sekaligus, lalu sesudah itu kebagian-bagian yang lebih kecil.
Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan beberapa hal seperti ”ingatan jarak pendek” (”short term memory”), ”ingatan jangka panjang” (”long term memory”), dan sebagainya, yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan informasi. Kita lihat pengaruh aliran Neurobiologis sangat terasa disini. Namun, menurut teori sibernetik ini, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itupun perlu diketahui.

Kritik Terhadap Teori Sibernetik
Teori sibernetik ini dikritik sebab tidak membahas proses belajar secara langsung sehingga hal ini menyulitkan pengeterapkannya. Karena alasan ini pula, maka kita mendapat kesulitan untuk menggolongkan, apakah teori sibernetik ini lebih dekat ke teori konformis, atau teori liberal.
Jika teori humanis lebih dekat kedunia filsafat, teori sibernetik ini lebih dekat ke psikologi dan informasi. Selain itu, pemahaman kita terhadap mekanisme kerja otak yang masih terbatas mengakibatkan pengetahuan kita tentang bagaimana informasi itu diolah juga menjadi sangat terbatas.

Karena alasan ini pula, maka banyak pakar mendapat ilham untuk(makin) mengembangkan teori kognitif. Jika teori sibernetik lebih tertarik kepada kerja otak.teori kognitif lebih tertarik kepada kerja otak itu. Seperti kata seorang pakar kognitif: untuk menemukan perhitungan akar 437, misalnya, apakah kita perlu tahu bagaimana sebuah kalkulator bekerja? Pendeknya, untuk mengembangkan suatu teori belajar, kita tidak harus mengetahui seluk beluk kerja otak kita sampai ke detil-detilnya.



Selengkapnya...